UNIT 1
HAKIKAT KEBUDAYAAN DAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
A.
Pengertian
Kebudayaan
Kata
budaya/kultur (culture) dipandang penting karena kata ini membentuk dan
merupakan bagian dari istilah Pendidikan Multikultural. Bagaimana kita
mendefinisikan budaya akan menentukan arti dari istilah Pendidikan
Multikultural. Tanpa kita mengetahui apa arti budaya/kultur, kita akan sangat
sulit memahami implikasi Pendidikan Multikultur secara utuh. Misalnya, jika
budaya didefinisikan sebagai warisan dan tradisi dari suatu kelompok sosial,
maka Pendidikan Multikultural berarti mempelajari tentang berbagai (multi)
warisan dan tradisi budaya. Namun jika budaya didefinsikan sebagai desain
kelompok sosial untuk bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya, maka
satu tujuan pendidikan multikultural adalah untuk mempelajari tentang berbagai
kelompok sosial dan desain yang berbeda untuk hidup dalam masyarakat yang
pluralis (Bullivant, dalam Banks, 1993: 29). Nah sekarang kita lanjutkan dengan
pembahasan mengenai budaya atau kebudayaan berikut ini.
Apa
yang terlintas pada pikiran Anda bila istilah ”budaya”, ”kultur” atau
”kebudayaan” itu muncul. Mungkin di pikiran kita terlintas tentang
tarian-tarian, adat istiadat suatu daerah, pakaian adat, rumah adat, lagu-lagu
daerah atau ritual peninggalan masa lalu. Hal ini sangat mungkin berbeda dengan
yang dipikirkan oleh orang Barat ketika mendengar kata yang sama. Di dunia
Barat istilah budaya juga digunakan dalam pengertian yang populer, yaitu budaya
tinggi (high culture) untuk menyebut bidang estetik (keindahan) seperti
seni, drama, balet dan karya sastra dan budaya rendah (low cultur) untuk
menyebut seni yang lebih populer seperti musik pop, dan media massa. Namun ada
beberapa ciri khas budaya yang dapat dijadikan petunjuk untuk memperoleh
gambaran tentang definisi budaya.
Dalam
istilah Inggris, ”budaya” adalah culture, yang berasal dari kata Latin colere
yang berarti “mengolah, mengerjakan” terutama mengolah tanah atau bertani
(Koentjaraningrat, 2000). Hal ini berarti bahwa budaya merupakan aktivitas
manusia, bukan aktivitas makhluk yang lain dan menjadi ciri manusia.
Dari sudut antropologi budaya, mengkategorian temuan artifak yang disebut
”Pithecanthropus Erectus”, ”Homo Soloensis” sebagai manusia atau bukan,
didasarkan pada kemampuan artifak itu saat hidup dalam menciptakan benda
budaya. Misalnya Pithecanthropus Erectus (manusia kera yang berdiri tegak) yang
ditemukan di sungai Bengawan Solo, Sangiran, Solo oleh sebagian ahli sudah dipandang
sebagai ”manusia” karena dipandang ada hubungan dengan diketemukannya kapak di
dekat Pithecanthroupus Pekinensis yang memiliki ciri sama yang diketemukan di
Solo dan dipandang satu jaman masa hidupnya.
Ibarat
sebuah mobil yang dipandang dari berbagai sudut pandang (mesinnya, harganya,
atau potongan bodinya), manusia dapat dilihat dari kedudukannya sebagai homo
humanus, homo socius dan homo educandum.. Humanus berasal dari
bahasa Latin yang berarti lebih halus, berbudaya dan manusiawi. Manusia
akan selalu mencipta, menikmati dan merasakan hal-hal yang bisa membuat dia
lebih halus, berbudaya dan manusiawi. Manusia menyukai musik, menari atau
berperilaku sopan. Semua itu didorong oleh kodratnya sebagai manusia sebagai
homo humanus. Koentjaraningrat menjelaskan peradaban (civilization) itu
sebagai bagian dan merupakan bagian kebudayaan yang halus dan indah seperti
kesenian, ilmu pengetahuan, sopan santun dan sistem pergaulan yang kompleks
dalam suatu masyarakat dengan struktur yang kompleks. Sering juga peradaban
dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni
bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan
kompleks.
Selain sebagai makhluk yang berbudaya, manusia juga makhluk yang
selalu berinteraksi dan tidak terlepas dari orang lain (homo socius).
Dalam berinteraksi dengan lingkungannya, manusia menggunakan simbol (homo
simbolicum). Manusia akan banyak menggunakan benda-benda sebagai simbol
untuk mengekspresikan sesuatu. Misalnya, penggunaan simbol berupa kalung salib
bagi kelompok agama Nasrani.Dalam berinteraksi dengan orang lain itu ada proses
pendidikan yang berlangsung karena manusia adalah makhluk yang mendidik dan
terdidik (homo educandum).
Menurut Margaret Mead (1901-1978) budaya adalah perilaku yang
dipelajari dari sebuah masyarakat atau sub kelompok. Ada banyak pengertian
mengenai kebudayaan yang dipergunakan. Kluckhohn dan Kroeber mencatat sekitar
175 definisi kebudayaan yang berbeda. Koentjaraningrat mengartikan budaya dalam
arti sempit dan luas. Dalam arti sempit budaya itu adalah kesenian (Koentjaraningrat,
2000). Secara luas, Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai
keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar,
beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya. Kita lihat, pengertian yang
dibuat oleh Koentjaraningrat itu sangat luas yang mencakup seluruh aktivitas
manusia.
Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa budaya itu berkaitan
dengan kata kunci yang mencakup (1) gagasan, (2) perilaku dan (3) hasil karya
manusia.
Sebagai pedoman pembahasan kita selanjutnya, pengertian kebudayaan
ini difokuskan pada pendapat Bullivant yang mendefinisikan budaya sebagai
program bertahan hidup dan adaptasi suatu kelompok dengan lingkungannya.
Program budaya terdiri dari pengetahuan, konsep, dan nilai-nilai yang dimiliki
oleh anggota kelompok melalui sistem komunikasi. (Banks, 1993: 8). Kebudayaan
juga terdiri dari keyakinan, simbol, dan interpretasi dalam kelompok manusia.
Sebagian besar ilmuwan sosial saat ini memandang budaya terdiri dari aspek
simbolik, ideasional, dan tidak terlihat (intangible) dari masyarakat manusia.
Esensi budaya bukan pada benda, alat, atau elemen budaya yang terlihat lainnya
namun bagaimana kelompok menginterpretasikan, menggunakan, dan merasakannya.
Nilai-nilai, simbol, interpretasi, dan perspektiflah yang membedakan seseorang
dari orang yang lain dari masyarakat manusia, bukan obyek material dan aspek
yang terlihat lainya dari masyarakat manusia. Orang-orang di dalam suatu
kebudayaan biasanya menginterpretasikan makna simbol, benda dan perilaku
menurut cara yang sama atau yang serupa (Banks, 1993: 8) dan ada kemungkinan
orang menginterpretasikan secara lain pada suatu perilaku yang sama. Semua
kebudayaan menggunakan bahasa tubuh (body language) untuk berkomunikasi. Ada
kebudayaan yang lebih banyak menggunakan bahasa tubuh dibandingkan dengan yang
lainnya. Masalah dalam penggunakan bahasa tubuh untuk komunikasi dapat terjadi
jika dua makna yang bertentangan menggambarkan satu gerakan tubuh. Misalnya di
Bulgaria, menganggukkan berarti “tidak” dan menggelengkan kepala berarti “ya”
(Axtel, 1995) sedangkan di tempat lain umumnya mengartikan sebaliknya.
B.
Unsur – Unsur Budaya
E.B. Tylor (1832-1917) memandang budaya sebagai kompleksitas hal
yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Sedangkan menurut Raymond Williams (1921-1988) budaya meliputi
meliputi organisasi produksi, struktur keluarga, struktur lembaga yang
mengungkapkan atau mengatur hubungan-hubungan sosial, bentuk komunikasi yang
khas dalam anggota masyarakat. Menurut Claude Levi-Strauss, kebudayaan harus
dipandang dalam konteks teori komunikasi yaitu sebagai keseluruhan sistem
simbol (bahasa, kekerabatan, ekonomi, mitos, seni) yang pada berbagai tingkat
memungkinkan dan mengatur komunikasi (Cremers, 1997: 147). Hal ini karena
manusia adalah homo simbolicum. Kita lihat bahwa budaya diartikan selalu
dalam konteks hubungannya sebagai anggota masyarakat.
Koentjaraningrat lebih sistematis dalam memerinci unsur-unsur
kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat (2000: 2) adalah
sebagai berikut:
1.
Sistem
religi dan upacara keagamaan.
2.
Sistem dan
organisasi kemasyarakatan.
3.
Sistem
pengetahuan
4.
Bahasa
5.
Kesenian
6.
Sistem mata
pencaharian hidup.
7.
Sistem
teknologi dan peralatan.
Secara
garis besar unsur-unsur yang berada di urutan bagian atas merupakan unsur yang
lebih sukar berubah daripada unsur-unsur di bawahnya. Namun perlu diperhatikan,
karena ada kalanya sub unsur dari suatu unsur di bawahnya lebih sukar diubah
dari pada sub unsur dari sutau unsur yang tercantum di atasnya. Misalnya
sub-sub unsur hukum waris yang merupakan sub unsur dari hukum (bagian dari
unsur sistem dan organisasi kemasyarakatan) lebih sukar berubah bila
dibandingkan dengan sub-sub unsur arsitektur tempat pemujaan (bagian dari sub
unsur prasarana upacara yang menjadi bagian dari sistem religi).
Unsur-unsur yang
diurutkan di atas merupakan unsur budaya yang universal dalam arti ada di
manapun, kapan pun dan berlaku pada siapa pun. Artinya dibelahan dunia mana pun
ada ketujuh unsur itu. Dalam sejarah manusia baik yang primitif maupun yang
modern ke tujuh unsur itu berlaku pada siapapun yang dinamakan “manusia”.
Kebudayaan
memberi pengetahuan dan ide tentang dan untuk berperilaku.
Artinya, orang harus mengetahui jenis pengetahuan dan ide yang harus digunakan
pada jenis perilaku tertentu yang sesuai (untuk berperilaku) dan juga
untuk memahami perilaku tentang apa yang dia lihat (tentang perilaku).
Misalnya,
kita biasa melihat ada kebiasaan orang Tionghoa yang menggunakan sumpit, yang
terbuat dari batangan kayu atau bambu, sebagai alat pengganti senduk ketika
mereka makan. Kita perlu pengetahuan dan ide tentang apa artinya dan aturan apa
yang digunakan untuk menggunakannya. Jika kita adalah anggota kelompok sosial
yang menggunakan sumpit itu, kita akan tahu aturan yang mendasarinya. Kelompok
asing lain hanya dapat melihat perilaku orang Tionghoa yang menggunakan sumpit
atau menanyakannya bagaimana mereka memperoleh ketrampilan seperti itu dan apa
maknanya.
Sekalipun
demikian, orang asing itu mungkin tidak mempelajari segala hal tentang
penggunaan sumpit namun bila dia hidup dalam jangka waktu lama dengan kelompok
sosial itu maka ia akan menemukan aturan tentang kesabaran dan etiket sekitar
proses sederhana berupa makan dengan menggunakan sumpit. Ini menunjukkan pada
kita bahwa kebutuhan biologis instingtif untuk memuaskan perut lapar harus
dilakukan menurut cara yang yang terprogram secara berbudaya.
Contoh
sumpit juga memperlihatkan bahwa dua jenis perilaku dapat tercakup dalam
rutinitas sehari-hari seperti makan. Pertama, perilaku instrumental
(instrumental behavior), yang dipakai untuk mendapatkan sesuatu dan yang
diprogram oleh pengetahuan instrumental dari budaya. Kedua adalah perilaku
ekspresif (expressive behavior), yang lebih menekankan pada pengekspresian
keyakinan, ide, dan nilai-nilai yang penting. Kesabaran dan etiket bukan hanya
diperlukan jika makan dan jika menunjukkan perilaku instrumental yang relevan,
namun merupakan ekspresi dari petunjuk tentang cara makan, nilai yang
ditempatkan pada makan dan jenis-jenis nilai yang ada seputar makan.
Perilaku
ekspresif merupakan bagian penting dari ritual keagamaan. Tidak mungkin nampak
melakukan sesuatu dalam pengertian instrumental, sekalipun mengekspresikan
keyakinan dan ide yang penting Namun sekalipun ritual itu tidak melakukan
apa-apa, namun memiliki fungsi penting dalam membawa kenyamanan psikhologis.
Ritual dapat menjadi cara penting untuk menghilangkan/mengurangi perasaan
frustasi atau kegelisahan saat krisis seperti banjir, gempa, Tsunami, atau
bencana alamiah lainnya. Dengan demikian ritual religius dapat dikatakan
memiliki fungsi instrumental.
Akhirnya penting untuk
diingat bahwa pada sebagian besar masyarakat, program yang demikian memberi
sejumlah pilihan dan orang akan mengubah dan berperilaku secara bebas.
Masing-masing individu dapat mengembangkan budaya pribadi. Kadang-kadang
“melakukan sesuatu semaunya sendiri” menjadi tidak dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungannya (maladaptive) untuk bertahan hidup dan mereka dapat
terisolasi (ingat budaya terutama adalah program bersama).
C.
Tiga Wujud Kebudayaan
Kalau kita perhatikan definisi
budaya seperti diuraikan di atas, maka wujud kebudayaan (Koentjaraningrat,
2000: 5) bisa terdiri dari :
1.
Wujud
idiil (adat tata kelakuan) yang bersifat abstrak, tak dapat diraba. Terletak
di alam pikiran dari warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan itu
hidup, yang nampak pada karangan, lagu-lagu. Fungsinya adalah pengatur, penata,
pengendali, dan pemberi arah kelakuan manusia dalam masyarakat. Adat terdiri
atas beberapa lapisan, yaitu sistem nilai budaya (yang paling abstrak dan
luas), sistem norma-norma (lebih kongkrit), dan peraturan khusus mengenai
berbagai aktivitas sehari-hari (aturan sopan santun) yang paling kongkrit dan
terbatas ruang lingkupnya.
2.
Wujud
kedua adalah sistem sosial mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri
dari aktivitas manusia yang berinteraksi yang selalu mengikuti pola tertentu.
Sifatnya kongkrit, bisa diobservasi.
3.
Wujud
ketiga adalah kebudayaan fisik yang bersifat paling kongkrit dan berupa benda yang
dapat diraba dan dilihat.
Ketiga wujud dari
kebudayaan di atas dalam kenyataan kehidupan masyarakat tidak terpisah satu
dengan yang lain. Kebudayaan idiil memberi arah pada perbuatan dan karya
manusia. Pikiran atau ide dan karya manusia menghasilkan benda kebudayaan
fisik. Sebaliknya kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu
yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga
mempengaruhi pola perbuatan, bahkan juga mempengaruhi cara berpikirnya.
D.
Perbedaan
Antara Lingkungan Fisik , Sosial , dan Metafisik
Tentu Anda tahu bahwa
pada dasarnya kita tidak bisa lepas dan terpisah dari lingkungan kita. Pada
dasarnya kelompok sosial merupakan kolektivitas manusia yang kurang lebih
permanen yang hidup bersama dan berinteraksi dengan berbagai lingkungan yang
mengitari dirinya. Kelompok sosial harus bertahan hidup dengan beradaptasi
dengan dan mengubah lingkungannya. Pengetahuan, ide, dan ketrampilan yang
memungkinkan suatu kelompok untuk bertahan hidup dapat dipandang sebagai
program bertahan hidup atau budaya.
Keberhasilan bertahan
hidup suatu kelompok tergantung pada jenis lingkungan yang dihadapi kelompok.
Pertama, ada lingkungan geografis, atau habitat fisik. Lingkungan
ini memberi berbagai keunikan alamiah di mana kelompok sosial itu beradaptasi
dengan atau mengubah lewat teknologinya.
Kedua, anggota kelompok sosial harus hidup bersama dan
berinteraksi. Kelompok sosial sebagai satu keseluruhan memiliki kelompok lain
sebagai tetangga yang akan membentuk lingkungan sosial dengan mana
mereka juga berinteraksi. Beberapa dari kelompok ini ada interaksi lokal dan
memungkinkan interaksi tatap muka, sedangkan yang lain lebih berjarak. Dalam
skala dunia, kelompok sosial utama seperti negara hidup dalam lingkungan sosial
regional dan global dan harus beradaptasi dengan negara lain. Bagian budaya sebagian
besar tersusun dari semua kebiasaan dan aturan yang memungkinkan semua skala
interaksi yang berbeda ini dilakukan.
Ketiga, ada suatu jenis
lingkungan yang biasanya kita tidak memikirkannya karena tidak terlihat atau
berinteraksi di dalam dunia ini. Namun nyatanya jutaan manusia dan sangat
mempengaruhi hidup. Asalnya terletak pada apa yang dipikirkan terhadap dorongan
manusia yang mendasar (a basic human drive) atau kebutuhan universal untuk
menemukan makna dan penjelasan dalam hidupnya. Satu cara untuk memuaskan
kebutuhan akan makna ini adalah mengembangkan keyakinan bahwa hidup ditentukan
oleh Sesuatu yang lebih tinggi, yang adanya di luar umat manusia, seperti Tuhan
atau hal-hal supernatural lainnya. Seringkali ada pemikiran tentang kehidupan
surga. Karena lingkungan ini berlokasi di luar pengalaman disini-dan-kini
(outside here-and-now experience) atau transenden (melampaui dunia), kita dapat
menunjuk jenis dunia spiritual ini sebagai lingkungan metafisik
(metaphysical environment). Tanpa memasukkan lingkungan metafisik dalam
pembahasan kita, sulit untuk memahami secara utuh mengapa beberapa kelompok
sosial hidup sebagaimana mereka lakukan. Misalnya, kehidupan tradisional suku
Indian Navajo di Arizona, Amerika. Kita tidak akan dapat memahami secara utuh
jika tidak mengetahui tentang keyakinan mereka tentang lingkungan metafisik
yang berbahaya yang di sekelilingnya terdapat dukun, santet dan keberadaan
hal-hal supernatural. Suku Navajo mempercayai bahwa ada sesuatu yang
mempengaruhi kesehatan dan keselamatan seseorang. Eksistensinya memerlukan
adopsi mantera untk menjauhkan pengaruh setan dan menggunakan berbagai praktek
jampi-jampi (ethnomedical) seperti upacara menyembuhan orang yang menderita
sakit.
Desain rumah Navajo
tradisional (hogans) dan adat tradisional berkembang berdasarkan pandangan
Navajo tentang bagaimana mereka mempertahankan hidup dalam lingkungan metafisik
mereka. Begitu juga suku Baduy di Jawa Barat yang lebih menghargai kakinya
untuk diberi bantal ketika sedang tidur daripada kepalanya karena memandang
bahwa kaki lebih digunakan untuk menopang seluruh anggota tubuh mereka. Hal
esensial tentang praktek ini dan berbagai tempat lain di dunia ini adalah bahwa
lingkungan metafisik yang demikian itu nyata bagi yang mempercayainya seperti halnya
Allah bagi orang Islam dan Yesus bagi orang Nasrani.
E.
Perbedaan
Antara Non Budaya dan Budaya
Memperhatikan luasnya pengertian budaya
di atas, maka pertanyaan selanjutnya adalah apa yang membedakan antara budaya
dan non budaya? Hal-hal yang non budaya mencakup benda yang keberadaannya sudah
ada dengan sendirinya atau ciptaan Tuhan yang tidak/belum mendapat sentuhan
aktivitas manusia (benda-benda alamiah seperti batu, pohon, gunung, tanah,
planet), sedangkan budaya mencakup sesuatu yang keberadaannya sudah mendapat
sentuhan tangan manusia (misal, patung marmer/onix, bonsai, bangunan, aturan
makan dan lain-lain). Jadi batu dan kayu dapat dipandang sebagai non budaya
bila didapatkan apa adanya sebagai batu gunung dan pepohonan, namun menjadi
sebuah benda budaya bila mendapat campur tangan manusia.
F.
Pranata
Kebudayaan
Pranata (institution)
yang ada dalam kebudayaan dikelompokkan berdasarkan kebutuhan hidup manusia
yang hidup dalam ruang dan waktu :
1.
Pranata
yang bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan (kinship atau
domestic institutions). Misal: perkawinan, pengasuhan anak.
2.
Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan
manusia untuk pencaharian hidup, memproduksi, menimbun dan mendistribusi harta
benda (economic institutions). Contoh : pertanian, industri, koperasi,
pasar.
3.
Pranata
yang bertujuan memenuhi kebutuhan penerangan dan pendidikan manusia supaya
menjadi anggota masyarakat yang berguna (educational institutions). Contoh
: pengasuhan anak, pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi, pendidikan
keagamaan, pers.
4.
Pranata
yang bertujuan memenuhi kebutuhan ilmiah manusia, menyelami alam semesta (scientific
institutions). Contoh : penjelajahan luar angkasa, satelit .
5.
Pranata
yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia menyatakan keindahannya dan rekreasi (aesthetic
and recreational institutions). Contoh: batik, seni suara, seni gerak, seni
drama, olah raga.
6.
Pranata
yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau
dengan alam gaib (religious institutions). Contoh : masjid, do’a,
kenduri, upacara, pantangan, ilmu gaib.
7.
Pranata
yang bertujuan memenuhi kebutuhan jasmaniah manusia (somatic institutions). Contoh
: perawatan kecantikan, pemeliharaan kesehatan, kedokteran. (Koentjaraningrat,
2000).
G.
Pengertian
Pendidikan Multikultural
Pengertian
“Multikultural” secara luas mencakup pengalaman yang membentuk persepsi umum
terhadap usia, gender, agama, status sosial ekonomi, jenis identitas budaya,
bahasa, ras, dan berkebutuhan khusus.
Ketika
membahas multikultural atau studi budaya lainnya, maka konsep ethic dan Emic
akan selalu muncul. Ethic dan emic sebenarnya merupakan istilah
anthropologi yang dikembangkan Pike (1967). Istilah ini berasal dari kajian
anthropologi bahasa, yaitu Phonemics yang merupakan studi yang
mempelajari suara unik pada bahasa tertentu dan Phonetics atau
studi yang mempelajari bunyi-bunyian yang ditemukan pada semua bahasa
(universal) pada semua budaya. Pike memakai istilah Emic dan Ethic untuk
menjelaskan dua sudut pandang dalam mempelajari perilaku multikultural. Ethic
adalah sudut pandang dalam mempelajari budaya dari luar sistem budaya
itu, dan merupakan pendekatan awal dalam mempelajari suatu sistem budaya
yang asing. Sedangkan emic sebagai sudut pandang merupakan studi
perilaku dari dalam sistem budaya tersebut (Segall, 1990). Ethic
adalah aspek kehidupan yang muncul konsisten pada semua budaya, emic adalah
aspek kehidupan yang muncul dan benar hanya pada satu budaya tertentu. Jadi,
Ethic menjelaskan universalitas suatu konsep kehidupan sedangkan emic
menjelaskan keunikan dari sebuah konsep budaya (Matsumoto, 1996).
Pemahaman
kedua konsep ini sangat penting dan menjadi dasar dalam memahami budaya dalam
Pendidikan Multikultural. Sebuah perilaku manusia kita akui kebenarannya
sebagai sebuah ethic, maka dapat dikatakan bahwa perilaku manusia tersebut
adalah universal, termasuk dalam kebenarannya. Hasil penelitian yang dapat
dilakukan dapat digeneralisasi dan dijadikan dasar dalam penelitian
selanjutnya. Misalnya ekspresi tertawa pada semua budaya untuk mengekspresikan
rasa senang. Sebaliknya sebuah perilaku atau nilai hanya diketemukan pada satu
budaya dan hanya benar pada budaya tersebut, dalam studi Pendidikan
Multikultural tidak boleh digeneralisasi dan hanya berlaku pada satu budaya
tersebut saja. Misalnya suku Dayak di Kalimantan yang memenggal kepala
(perilaku) setiap musuh yang dibunuh atau suku Indian yang mengambil kulit
kepala dari musuhnya yang telah meninggal adalah satu perilaku emic yang khas
dan benar hanya pada budaya tersebut. Perilaku khas Suku Dayak itu tidak dapat
digeneralisir dalam analisa untuk menjelaskan perilaku seluruh suku di
Indonesia.
Pendidikan
Multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan
penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di
dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan
pendidikan dari individu, kelompok maupun negara (Banks, 2001). Di dalam
pengertian ini terdapat adanya pengakuan yang menilai penting aspek keragaman
budaya dalam membentuk perilaku manusia.
Lebih
lanjut, James A. Banks dalam bukunya ”Multicultural Education,” mendefinisikan
Pendidikan Multikultural sebagai berikut:
Multicultural education is an idea, an
educational reform movement, and a process whose major goal is to change the
structure of educational institutions so that male and female students,
exceptional students, and students who are members of diverse racial, ethnic,
and cultural groups will have an equal chance to achieve academically in school
(Banks, 1993: 1)
Pendidikan
Multikultural adalah ide, gerakan pembaharuan pendidikan dan proses
pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga
pendidikan supaya siswa baik pria maupun wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan
siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang
bermacam-macam itu akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi
akademis di sekolah.
Jadi
Pendidikan Multikultural akan mencakup:
a.
Ide dan
kesadaran akan nilai penting keragaman budaya.
b.
Gerakan pembaharuan
pendidikan.
c.
Proses
pendidikan.
H.
Dasar Pendidikan Multikultural
Berdasarkan kondisi
masyarakat Indonesia yang multikultural, maka untuk membentuk negara Indonesia
yang kokoh perlu mengembangkan jenis pendidikan yang cocok untuk bangsa yang
multikultural. Jenis pendidikan yang cocok untuk bangsa yang multikultur ini adalah
Pendidikan Multikultural.
Sebagaimana disebutkan di
atas, Pendidikan Multikultural paling tidak menyangkut tiga hal yaitu (1) ide
dan kesadaran akan nilai penting keragaman budaya, (2) gerakan
pembaharuan pendidikan dan (3) proses. Berikut ini akan diuraikan
dasar yang membentuk perlunya Pendidikan Multikultur.
(1)
kesadaran
nilai penting keragaman budaya
Perlu peningkatan
kesadaran bahwa semua siswa memiliki karakteristik khusus karena usia, agama,
gender, kelas sosial, etnis, ras, atau karakteristik budaya tertentu yang
melekat pada diri masing-masing. Pendidikan Multikultural berkaitan dengan ide
bahwa semua siswa tanpa memandang karakteristik budayanya itu seharusnya
memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah. Perbedaan yang ada itu
merupakan keniscayaan atau kepastian adanya namun perbedaan itu harus diterima
secara wajar dan bukan untuk membedakan. Artinya perbedaan itu perlu kita
terima sebagai suatu kewajaran dan perlu sikap toleransi agar kita bisa hidup
berdampingan secara damai tanpa melihat unsur yang berbeda itu untuk
membeda-bedakan.
Matakuliah Pendidikan
Multikultural ini memberikan pemahaman mengenai berbagai jenis kegiatan
pendidikan sebagai bagian integral dari kebudayaan universal. Di dalamnya akan
dibahas kebudayaan yang teraktualisasi secara internasional, regional, dan
lokal sepanjang sejarah kemanusiaan. Kegiatan pendidikan sebagai interaksi
sosio-kultural paedagogis di Indonesia bukan hanya dilakukan oleh suku bangsa
Indonesia, tapi berbagai bangsa. Di dalam Pendidikan Multikultural ini akan
diungkap pula aktivitas paedagogis masa lalu, masa kini dan masa depan di
berbagai belahan dunia dengan fokus kebudayaan Indonesia.
(2)
Gerakan
pembaharuan pendidikan
Ide penting yang lain
dalam Pendidikan Multikultural adalah bahwa sebagian siswa karena karakteristik
tersebut di atas, ternyata ada yang memiliki kesempatan yang lebih baik untuk
belajar di sekolah favorit tertentu sedangkan siswa dengan karakteristik budaya
yang berbeda tidak memiliki kesempatan itu.
Beberapa karakteristik
institusional dari sekolah secara sistematis menolak kelompok siswa untuk
mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama, walaupun itu dilakukan secara
halus. Dalam arti, dibungkus dalam bentuk aturan yang hanya bisa dipenuhi oleh
segolongan tertentu dan tidak bisa dipenuhi oleh golongan yang lain. Kita
perhatikan di lingkungan sekitar kita. Ada kesenjangan ketika muncul fenomena
sekolah favorit yang didominasi oleh golongan orang kaya karena ada kebijakan
lembaga yang mengharuskan untuk membayar uang pangkal yang mahal untuk bisa
masuk dalam kelompok sekolah favorit itu. Ada kebijakan yang dipandang tidak adil
bagi golongan Tionghoa karena ada diskriminasi terhadap kelompok mereka
sehingga mereka hanya berkecimpung di bidang yang sangat terbatas, misalnya
dagang, pengacara, dokter dan mengalami kesulitan berkarier di bidang
ketentaraan dan pemerintahan. Mereka dan sebagian warga negara asing lainnya
sulit mendapatkan status kewarganegaraan bagi anak-anak mereka sebelum tahun
2006. Ada keluhan di kalangan atlit bulutangkis untuk dimasuki golongan pribumi
karena sudah didominasi oleh warga keturunan Cina. Warga dari Suku Anak Dalam
di Lampung kurang mendapat kesempatan memperoleh pendidikan yang memadai karena
karakteristik budaya mereka yang unik dan tinggal di daerah pedalaman.
Pendidikan
Multikultural bisa muncul berbentuk bidang studi, program, dan praktek yang
direncanakan lembaga pendidikan untuk merespon tuntutan, kebutuhan dan aspirasi
berbagai kelompok. Sebagaimana ditunjukkan Grant dan Sleeter, Pendidikan
Multikultur bukan sekedar merupakan praktek aktual satu bidang studi atau
program pendidikan semata, namun mencakup seluruh aspek pendidikan. Pada unit
selanjutnya, akan dibahas mengenai hal ini.
(3)
proses
pendidikan.
Pendidikan
Multikultural juga merupakan proses (pendidikan) yang tujuannya tidak akan
pernah terrealisasikan secara penuh. Pendidikan Multikultural adalah proses
menjadi. Pendidikan Multikultural harus dipandang sebagai suatu proses yang
terus-menerus (an ongonging process), dan bukan sebagai sesuatu yang langsung
bisa tercapai. Tujuan utama dari Pendidikan Multikultural adalah untuk
memperbaiki prestasi secara utuh bukan sekedar meningkatkan skor.
Persamaan
pendidikan, seperti juga kebebasan dan keadilan, merupakan ide umat manusia
yang harus dicapai dengan perjuangan keras namun tidak pernah dapat mencapainya
secara penuh. Ras, gender, dan diskriminasi terhadap orang yang berkebutuhan
akan tetap ada sekalipun kita telah berusaha sekeras mungkin menghilangkan
masalah ini. Jika prasangka dan diskriminasi dikurangi pada suatu kelompok,
biasanya keduanya terarah pada kelompok lain atau mengambil bentuk yang lain.
Karena tujuan Pendidikan Multikultur tidak akan pernah tercapai secara penuh,
kita seharusnya bekerja secara kontinyu meningkatkan persamaan pendidikan untuk
semua siswa (educational equality for all students).
Sejalan dengan pemikiran
dari Banks di atas, Gorski menyimpulkan bahwa sejak konsep paling awal muncul
pada tahun 1960-an, pendidikan multikultural telah berubah, difokuskan kembali,
dan dikonseptualisasikan kembali. Pendidikan multikultural berada di dalam
kondisi perubahan baik teoritis maupun praktek sehingga jarang ada dua pengajar
atau ahli pendidikan yang memiliki definisi yang sama tentang pendidikan
multikultural. Seperti halnya dalam suatu dialog pendidikan, individu cenderung
mengubah konsep untuk disesuaikan dengan fokus tertentu. Beberapa di antaranya
membahas pendidikan multikultural sebagai suatu perubahan kurikulum, mungkin
dengan menambah materi dan perspektif baru. Yanglain berbicara tentang isu
iklim kelas dan gaya mengajar yang dipergunakan kelompok tertentu. Yang lain
berfokus pada isu sistem dan kelembagaan seperti jurusan, tes baku, atau
ketidak cocokan pendanaan antara golongan tertentu yang mendapat jatah lebih
sementara yang lain kurang mendapat perhatian. Yang lain lagi melihat perubahan
pendidikan sebagai bagian dari perubahan masyarakat yang lebih besar di mana
kita mengeksplorasi dan mengkritik dasar-dasar kemasyarakatan yang menindas dan
bagaimana pendidikan berfungsi untuk memelihara status quo – seperti di Amerika
Serikat yang terlalu berpihak pada supremasi kulit putih, kapitalisme, situasi
sosio-ekonomi global dan eksploitasi. Sekalipun banyak perbedaan konsep
pendidikan multikultural, ada sejumlah ide yang dimiliki bersama dari semua
pemikiran dan merupakan dasar bagi pemahaman Pendidikan Multikultural:
kesempatan yang sama bagi setiap siswa untuk mewujudkan potensi
sepenuhnya, penyiapan pelajar untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat antar
budaya, penyiapan pengajar agar
memudahkan belajar bagi setiap siswa secara efektif, tanpa memperhatikan perbedaan
atau persamaan budaya dengan dirinya,
partisipasi aktif sekolah dalam menghilangkan penindasan dalam segala
bentuknya. Pertama-tama dengan menghilangkan penindasan di sekolahnya sendiri,
kemudian menghasilkan lulusan yang sadar dan aktif secara sosial dan kritis pendidikan
harus berpusat pada siswa dengan mendengarkan aspirasi dan pengalaman siswa, pendidik, aktivis, dan yang lain harus
mengambil peranan lebih aktif dalam mengkaji kembali semua praktek pendidikan,
termasuk teori belajar, pendekatan mengajar, evaluasi, psikhologi sekolah dan
bimbingan, materi pendidikan dan buku teks, dan lain-lain.
Menurut
Paul Gorski pendidikan multikultural merupakan pendekatan progresif untuk
mengubah pendidikan secara holistik dengan mengkritik dan memusatkan perhatian
pada kelemahan, kegagalan, dan praktek diskriminatif di dalam pendidikan
akhir-akhir ini. Keadilan sosial, persamaan pendidikan, dan dedikasi menjadi
landasan Pendidikan Multikultural dalam memfasilitasi pengalaman pendidikan
agar semua siswa dapat mewujudkan semua potensinya secara penuh dan
menjadikannya sebagai manusia yang sadar dan aktif secara lokal, nasional, dan
global.
I.
Tujuan Pendidikan Multikultural
Hasil
yang diharapkan Pendidikan Multikultural terlihat pada definisi, justifikasi,
asumsi, dan pola-pola pembelajarannya. Ada banyak variasi tujuan khusus dan
tujuan umum Pendidikan Multikultural yang digunakan oleh sekolah sesuai dengan
faktor kontekstual seperti visi dan misi belakang sekolah, siswa, lingkungan
sekolah, dan perspektif. Tujuan Pendidikan Multikultural dapat mencakup tiga
aspek belajar (kognitif, afektif, dan tindakan) dan berhubungan baik
nilai-nilai intrinsik (ends) maupun nilai instrumental (means) Pendidikan
Multikultural. Tujuan Pendidikan Multikultural mencakup:
1.
Pengembangan
Literasi Etnis dan Budaya
Salah satu alasan utama gerakan untuk memasukkan Pendidikan
Multikultural dalam program sekolah adalah untuk memperbaiki kelalaian dalam
penyusunan kurikulum. Pertama, kita harus memberi informasi pada siswa
tentang sejarah dan kontribusi dari kelompok etnis yang secara tradisional
diabaikan dalam kurikulum dan materi pembelajaran, kedua, kita harus
menempatkan kembali citra kelompok ini secara lebih akurat dan signifikan,
menghilangkan bias dan informasi menyimpang yang terdapat dalam kurikulum. Yang
dimaksud dengan informasi menyimpang ini adalah informasi yang salah tentang
sistem nilai dan budaya dari etnis tertentu atau melihat sistem nilai budaya
mereka dari sudut pandang kelompok lain. Siswa masih terlalu sedikit mengetahui
tentang sejarah, pewarisan, budaya, bahasa, dan kontribusi kelompok masyarakat
yang beragam dari bangsanya sendiri.
Jadi, tujuan utama
Pendidikan Multikultural adalah mempelajari tentang latar belakang sejarah,
bahasa, karakteristik budaya, sumbangan, peristiwa kritis, individu yang
berpengaruh, dan kondisi sosial, politik, dan ekonomi dari berbagai
kelompoketnis mayoritas dan minoritas. Informasi ini harus komprehensif,
analistis, dan komparatif, dan harus memasukkan persamaan dan perbedaan di
antara kelompok-kelompok yang ada.
Tujuan
ini cocok untuk mayoritas siswa maupun kelompok minoritas etnis. Kesalahan yang
sering dibuat adalah menganggap bahwa anggota kelompok etnis minoritas telah
mengetahui budaya dan sejarahnya atau bahwa jenis pengetahuan ini hanya relevan
untuk mereka, bukan untuk kami. Pendidikan Multikultural berargumentasi
sebaliknya. Keanggotaan kelompok etnis tidak menjamin pengetahuan diri atau
pemilikan pengetahuan tentang kelompok itu. Orang yang berasal dari Jawa
tidak otomatis mengetahui budaya Jawa. Orang Bali tidak otomatis mengetahui
keyakinan dan budaya yang ada di daerahnya. Mempelajari sejarah, kehidupan, dan
budaya kelompok etnis cocok untuk semua siswa karena mereka perlu
belajar lebih akurat tentang warisan budayanya sendiri maupun budaya orang
lain. Lebih dari itu, pengetahuan tentang pluralisme budaya merupakan dasar
yang diperlukan untuk menghormati, mengapresiasi, menilai dan memperingati
keragaman, baik lokal, nasional dan internasional.
2. Perkembangan Pribadi
Dasar
psikhologis Pendidikan Multikultural menekankan pada pengembangan pemahaman
diri yang lebih besar, konsep diri yang positif, dan kebanggaan pada identitas
pribadinya. Penekanan bidang ini merupakan bagian dari tujuan Pendidikan
Multikultural yang berkontribusi pada perkembangan pribadi siswa, yang berisi
pemahaman yang lebih baik tentang diri yang pada akhirnya berkontribusi
terhadap keseluruhan prestasi intelektual, akademis, dan sosial siswa.
Siswa
merasa baik tentang dirinya sendiri karena lebih terbuka dan reseptif
(menerima) dalam berinteraksi dengan orang lain dan menghormati budaya dan
identitasnyanya. Pendapat ini mendapat justifikasi lebih lanjut dengan temuan
penelitian yang berkaitan dengan adanya hubungan timbal balik antara konsep
diri, prestasi akademis, identitas individu, etnis dan budaya.
Para siswa telah
menginternalisasi konsep negatif dan salah tentang etnisnya sendiri dan
kelompok etnis lain. Siswa dari kelompok lain mungkin berpendirian bahwa
warisan budayanya hanya memiliki nilai tawar yang kecil, sedangkan nilai yang
ada pada kelompok dominan mungkin terlalu ditinggikan. Mengembangkan pemahaman
yang lebih baik tentang diri mereka sendiri dan pengalaman budaya dan kelompok
etnis yang lain dapat memperbaiki penyimpangan ini. Pendidikan Multikultural
juga membantu mencapai tujuan memaksimalkan potensi kemanusiaan, dengan
memenuhi kebutuhan individu, dan mengajar siswa seutuhnya dengan mempertinggi
rasa penghargaan pribadi, kepercayaan dan kompetensi dirinya. Pendidikan
Multikultural menciptakan kondisi kesiapan psikhososial dalam diri individu dan
lingkungan belajar yang memiliki efek positif pada upaya dan penguasaan tugas
akademis.
3.
Klarifikasi Nilai dan Sikap
Pendidikan Multikultural
mengangkat nilai-nilai inti yang berasal dari prinsip martabat manusia (human
dignity), keadilan, persamaan, kebebasan, dan demokrasi. Maksudnya adalah
mengajari generasi muda untuk menghargai dan menerima pluralisme etnis,
menyadarkan bahwa perbedaan budaya tidak sama dengan kekurangan atau rendah
diri, dan untuk mengakui bahwa keragaman merupakan bagian integral dari kondisi
manusia. Pengklarifikasian sikap dan nilai etnis didesain untuk membantu siswa
memahami bahwa berbagai konflik nilai itu tidak dapat dielakkan dalam
masyarakat pluralistik; dan bahwa konflik tidak harus menghancurkan dan memecah
belah. Jika kita mengelola dengan baik hal itu akan dapat menjadi katalis
kemajuan sosial dan ada kekuatan dalam pluralisme etnis dan budaya; bahwa kesetiaan
etnis (ethnic allegiance) dan loyalitas nasional (national loyalty) bukan tidak
dapat didamaikan; dan bahwa kerjasama dan koalisi di antara kelompok etnis
tidak tergantung pada pemilikan keyakinan, nilai, dan perilaku yang sama.
Menganalisa dan mengklarifikasi sikap dan nilai etnis merupakan langkah kunci
dalam proses melepaskan potensi kreatif individu untuk memperbarui diri dan
masyarakat untuk tumbuh-kembang lebih lanjut.
4.
Kompetensi
Multikultural
Penting sekali bagi siswa
untuk mempelajari bagaimana berinteraksi dengan dan memahami orang yang secara
etnis, ras, dan kultural berbeda dari dirinya. Dunia kita menjadi semakin lebih
beragam, kompak, dan saling tergantung. Namun, bagi sebagian besar siswa,
awal-awal pembentukan kehidupannya dihabiskan dengan isolasi atau terkurung di
daerah kantong secara etnis dan kultural. Kita biasa hidup dalam
kantong-kantong budaya yang sempit yang hanya mengenal budaya yang sempit pula.
Peralihan dari generasi ke generasi mengalami penurunan pemahaman akan budaya kita.
Nenek kita lebih mengenal budaya daerah kita. Orang tua kita mengalami sedikit
pengurangan dalam memahami budayanya. Akhirnya dia mengajarkan nilai-nilai
budaya yang tidak utuh itu pada kita. Akhirnya jadilah anak kita yang
terkungkung oleh kepicikan budaya yang serba kurang dan menyimpang dari akar
budaya yang sesungguhnya. Mungkin kita bukan orang Batak tulen atau Bali tulen
yang benar-benar memahami budaya kita. Kita tidak menyiapkan lingkungan dan
latar belakang multikultural yang berbeda untuk pembelajaran. Upaya interaksi
lintas kultural seringkali terhalang oleh nilai, harapan dan sikap negatif ;
kesalahan budaya (cultural blunders); dan dengan mencoba menentukan aturan
etiket sosial (rules of social etiquette) dari satu sistem budaya terhadap sistem
budaya yang lain. Hasilnya seringkali adalah frustasi, kecemasan, ketakutan,
kegagalan dan permusuhan kelompok antarras dan antaretnik.
Pendidikan Multikultural
dapat meredakan ketegangan ini dengan mengajarkan ketrampilan dalam
komunikasi lintas budaya, hubungan antar pribadi, pengambilan perspektif,
analisis kontekstual, pemahaman sudut pandang dan kerangka berpikir alternatif,
dan menganalisa bagaimana kondisi budaya mempengaruhi nilai, sikap, harapan,
dan perilaku. Pendidikan Multikultural dapat membantu siswa mempelajari
bagaimana memahami perbedaan budaya tanpa membuat pertimbangan nilai
yangsemena-mena tentang nilai intrinsiknya. Untuk mencapai tujuan ini anak
dapat diberi pengalaman belajar dengan memberi berbagai kesempatan pada siswa
untuk mempraktekkan kompetensi budaya dan berinteraksi dengan orang,
pengalaman, dan situasi yang berbeda.
5.
Kemampuan
Ketrampilan Dasar
Tujuan utama Pendidikan Multikultural adalah untuk memfasilitasi
pembelajaran untuk melatih kemampuan ketrampilan dasar dari siswa yang berbeda
secara etnis. Pendidikan Multikultural dapat memperbaiki penguasaan membaca,
menulis dan ketrampilan matematika; materi pelajaran; dan ketrampilan proses
intelektual seperti pemecahan masalah, berpikir kritis, dan pemecahan konflik
dengan memberi materi dan teknik yang lebih bermakna untuk kehidupan dan
kerangka berpikir dari siswa yang berbeda secara etnis. Menggunakan materi,
pengalaman, dan contoh-contoh sebagai konteks mengajar, mempraktekkan, dan
mendemonstrasikan penguasaan ketrampilan akademis dan mata pelajaran dapat
meningkatkan daya tarik pembelajaran, mempertinggi relevansi praktis
ketrampilan yang dipelajari, dan memperbaiki tempo siswa dalam melaksanakan
tugas. Kombinasi kondisi ini akan membimbing ke arah upya yang lebih terfokus,
penguasaan ketrampilan dan prestasi akademis. Misalnya, kita menggunakan sempoa
dari etnis Tionghoa untuk melatih ketrampilan di bidang aritmatika.
Aspek lain dari Pendidikan Multikultural yang berkontribusi secara
langsung pada level pencapaian ketrampilan dasar yang lebih tinggi adalah
kesesuaian dengan gaya belajar dan mengajar. Tidak adanya titik temu dalam
bagaimana siswa yang berbeda mempelajari masyarakat budayanya dan bagaimana
mereka diharapkan belajar di sekolah menyebabkan banyak waktu dan perhatian
dicurahkan pada pemecahan konflik daripada berkonsentrasi dalam tugas akademis
itu sendiri. Mengajari siswa supaya biasa belajar meminimalkan konflik ini dan
menyalurkan energi dan upaya secara langsung lebih diarahkan pada penyelesaikan
tugas akademis. Jadi, pengajaran kontekstual secara kultural dalam melakukan
proses pendidikan lebih efektif untuk siswa yang beragam secara etnis menjadi
prinsip mendasar dari Pendidikan Multikultural.
Jenis
iklim sosial yang ada di kelas juga mempengaruhi kinerja siswa adalam tugas
akademis. Pengaruh ini terutama benar untuk kelompok etnis yang
mempertimbangkan hubungan sosial dan latar belakang informal untuk proses
belajar. Jika guru merespon kebutuhan ini dengan memasukkan simbol, gambar, dan
informasi etnis dalam dekorasi ruang kelas, isi kurikulum dan interaksi
interpersonal, maka siswa merasa nyaman dan memiliki afiliasi yang lebih besar
dengan sekolah. Perasaan nyaman ini menciptakan latar belakang keterhubungan
pribadi yang merupakan esensi rasa kepemilikan dalam belajar yang pada
gilirannya lebih membimbing ke arah perhatian, upaya, dan waktu yang lebih
terarah pada tugas, dan memperbaiki penguasaan tugas dan prestasi akademik.
6.
Persamaan dan
Keunggulan Pendidikan
Tujuan persamaan
multikultural berkaitan erat dengan tujuan penguasaan ketrampilan dasar, namun
lebih luas dan lebih filosofis. Untuk menentukan sumbangan komparatif terhadap
kesempatan belajar, pendidik harus memahami secara keseluruhan bagaimana budaya
membentuk gaya belajar, perilaku mengajar, dan keputusan pendidikan. Mereka
harus mengembangkan berbagai alat untuk melengkapi hasil belajar yang
menggambarkan preferensi dan gaya dari berbagai kelompok dan individu. Dengan
memberi pilihan yang lebih pada semua siswa pilihan tentang bagaimana mereka
akan belajar, pilihan yang sesuai dengan gaya budaya mereka, tidak seorang pun
akan terlalu dirugikan atau diuntungkan pada level prosedural dari belajar.
Pilihan ini akan membimbing ke paralelisme (misalnya persamaan) dalam
kesempatan belajar dan lebih komparatif dalam prestasi maksimum siswa dalam
kemampuan intelektualnya.
Aspek lain dari tujuan
memasukkan informasi akurat dalam mengajarkan tentang masyarakat adalah
mengembangkan rasa kesadaran sosial (a sense of social consciousness),
keberanian moral, dan komitmen terhadap persamaan; dan memperoleh ketrampilan
dalam aktivitas politik untuk mereformasi masyarakat untuk membuatnya lebih
manusiawi, simpatik terhadap pluralisme kultural, keadilan moral, dan
persamaan. Oleh karena itu tujuan multikultural untuk mencapai persamaan dan
keunggulan pendidikan mencakup kognitif, afektif dan ketrampilan perilaku, di
samping prinsip demokrasi (Banks, 1993).
7.
Memperkuat Pribadi untuk Reformasi Sosial
Tujuan terakhir dari
Pendidikan multikultural adalah memulai proses perubahan di sekolah yang pada
akhirnya akan meluas ke masyarakat. Tujuan ini akan melengkapi penanaman sikap,
nilai, kebiasaan dan ketrampilan siswa sehingga mereka menjadi agen perubahan
sosial (social change agents) yang memiliki komitmen yang tinggi dengan
reformasi masyarakat untuk memberantas perbedaan (disparities) etnis dan rasial
dalam kesempatan dan kemauan untuk bertindak berdasarkan komitmen ini. Untuk
melakukan itu, mereka perlu memperbaiki pengetahuan mereka tentang isu etnis di
samping mengembangkan kemampuan pengambilan keputusan, ketrampilan tindakan
sosial, kemampuan kepemimpinan, dan komitmen moral atas harkat dan persamaan.
Mereka tidak hanya perlu memahami dan mengapresiasi mengapa pluralisme etnis
dan budaya itu ada, namun juga bagaimana menterjemahkan pengetahuan kepada
keputusan dan tindakan yang berhubungan dengan isu, peristiwa dan situasi
sosiopolitis yang esensial.
Tujuan dan pengembangan
ketrampilan ini didesain untuk membuat masyarakat lebih benar-benar egaliter
dan lebih menerima pluralisme kultural. Juga dimaksudkan untuk menjamin bahwa
kelompok etnis dan budaya yang secara tradisional menjadi korban dan
terasingkan akan lebih berpartisipasi secara penuh pada semua level masyarakat,
dengan semua hak, dan tanggung jawab yang menyertainya. Pendidikan
Multikultural berkontribusi secara langsung terhadap warga negara yang
demokratis di dalam global village (Swiniarski, 1999). Fungsi
multikulturalisme ini adalah apa yang dimaksudkan Banks dengan pendekatan
aksisosial dari Pendidikan Multikultural, yang mengajari siswa bagaimana
menjadi kritikus sosial (social critics), aktivis politik (political
activists), agen perubahan (change agents), dan pemimpin yang berkompeten dalam
masyarakat dan yang berbeda secara etnis dan pluralistik secara kultural. Juga
sama dengan konsep Grant tentang Pendidikan multikultural untuk rekonstruksi
sosial. Pendekatan ini berfokus pada penindasan dan ketidak samaan struktur
sosial, dengan perhatian menciptakan suatu masyarakat yang lebih mampu dan
melayani kebutuhan dan kepentingan semua kelompok orang. Pendekatan ini
membangun penguatan pribadi dengan menetapkan relevansi antara pelajaran
sekolah dengan kehidupan sosial, dengan memberi latihan menerapkan pengetahuan
dan pengambilan tindakan langsung dengan kehidupannya sendiri, dan
mendemonstrasikan kekuatan pengetahuan, upaya kolaboratif, dan aksi politis
dalam mempengaruhi perubahan sosial. Pendidikan Multikultural akan membantu
siswa dari berbagai kelompok budaya yang berbeda dalam memperoleh ketrampilan
akademik yang dibutuhkan untuk fungsinya di dalam masyarakat yang
berpengetahuan (a knowledge society). Pendidikan Multikultural merupakan pendidikan
untuk hidup (an education for life) dalam masyarakat yang ber-Pancasila.
Membantu siswa melampaui batas-batas budayanya dan memperoleh pengetahuan,
sikap dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk keterlibatannya di dalam wacana
publik dengan orang yang berbeda dengan dirinya. Pendidikan Multikultural juga
membantu siswa mempelajari ketrampilan yang dibutuhkan untuk berpartisipasi di
dalam tindakan kewarganegaraan (a civic action), yang merupakan bagian integral
dari negara yang berlandaskan Pancasila. Pendidikan Multikultural bukan hanya
didasarkan pada tradisi demokratis negara, namun memiliki fungsi esensial bagi
daya tahan dari suatu tradisi demokratis, pluralistis di abad mendatang (for
the survival of a democratic, pluralistic traditions in next century).
8.
Memiliki
wawasan kebangsaan/kenegaraan yang kokoh
Dengan mengetahui
kekayaan budaya bangsa itu akan tumbuh rasa kebangsaan yang kuat. Rasa
kebangsaan itu akan tumbuh dan berkembang dalam wadah negara Indonesia yang
kokoh. Untuk itu Pendidikan Multikultural perlu menambahkan materi, program dan
pembelajaran yang memperkuat rasa kebangsaan dan kenegaraan dengan
menghilangkan etnosentrisme, prasangka, diskriminasi dan stereotipe.
9.
Memiliki
wawasan hidup yang lintas budaya dan lintas bangsa sebagai warga dunia.
Hal ini berarti individu
dituntut memiliki wawasan sebagai warga dunia (world citizen). Namun siswa
harus tetap dikenalkan dengan budaya lokal, harus diajak berpikir tentang apa
yang ada di sekitar lokalnya. Mahasiswa diajak berpikir secara internasional
dengan mengajak mereka untuk tetap peduli dengan situasi yang ada di sekitarnya
– act locally and globally.
10.
Hidup berdampingan secara damai.
Dengan melihat perbedaan
sebagai sebuah keniscayaan, dengan menjunjung tinggi nilai kemanusian, dengan
menghargai persamaan akan tumbuh sikap toleran terhadap kelompok lain dan pada
gilirannya dapat hidup berdampingan secara damai.
J.
Fungsi
Pendidikan Multikultural
The National Council for
Social Studies (Gorski, 2001) mengajukan sejumlah fungsi yang menunjukkan pentingnya
keberadaan dari Pendidikan Multikultural. Fungsi tersebut adalah :
1.
memberi
konsep diri yang jelas.
2.
membantu
memahami pengalaman kelompok etnis dan budaya ditinjau dari sejarahnya.
3.
membantu
memahami bahwa konflik antara ideal dan realitas itu memang ada pada setiap
masyarakat.
4.
membantu
mengembangkan pembuatan keputusan (decision making), partisipasi sosial dan
ketrampilan kewarganegaraan (citizenship skills).
5.
mengenal
keberagaman dalam penggunaan bahasa
Pendidikan Multikultural
memberi tekanan bahwa sekolah pada dasarnya berfungsi mendasari perubahan
masyarakat dan meniadakan penindasan dan ketidak adilan. Fungsi pendidikan
multikultural yang mendasar adalah mempengaruhi perubahan sosial. Jalan di atas
dapat dirinci menjadi tiga butir perubahan :
1.
perubahan
diri
2.
perubahan
sekolah dan persekolahan
3.
perubahan
masyarakat
Perubahan
diri dimaknai sebagai perubahan dimulai dari diri siswa sendiri itu sendiri
yang lebih menghargai orang lain agar dia bisa hidup damai dengan
sekelilingnya. Kemudian diwujudkan dalam tata tutur dan tata perlakunya di
lingkungan sekolah dan berlanjut hingga di masyarakat. Karena sekolah merupakan
agen perubahan, maka diharapkan ada perubahan yang terjadi di masyarakat
seiring dengan terjadi perubahan yang terdapat dalam lingkungan persekolahan.
(Gorski, 2001).