Rabu, 12 Desember 2012

makalah pendidikan multikultural, pengertian, unsur-unsur budaya, 3 wujud kebudyaan


UNIT 1
HAKIKAT KEBUDAYAAN DAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

A.         Pengertian Kebudayaan
Kata budaya/kultur (culture) dipandang penting karena kata ini membentuk dan merupakan bagian dari istilah Pendidikan Multikultural. Bagaimana kita mendefinisikan budaya akan menentukan arti dari istilah Pendidikan Multikultural. Tanpa kita mengetahui apa arti budaya/kultur, kita akan sangat sulit memahami implikasi Pendidikan Multikultur secara utuh. Misalnya, jika budaya didefinisikan sebagai warisan dan tradisi dari suatu kelompok sosial, maka Pendidikan Multikultural berarti mempelajari tentang berbagai (multi) warisan dan tradisi budaya. Namun jika budaya didefinsikan sebagai desain kelompok sosial untuk bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya, maka satu tujuan pendidikan multikultural adalah untuk mempelajari tentang berbagai kelompok sosial dan desain yang berbeda untuk hidup dalam masyarakat yang pluralis (Bullivant, dalam Banks, 1993: 29). Nah sekarang kita lanjutkan dengan pembahasan mengenai budaya atau kebudayaan berikut ini.
Apa yang terlintas pada pikiran Anda bila istilah ”budaya”, ”kultur” atau ”kebudayaan” itu muncul. Mungkin di pikiran kita terlintas tentang tarian-tarian, adat istiadat suatu daerah, pakaian adat, rumah adat, lagu-lagu daerah atau ritual peninggalan masa lalu. Hal ini sangat mungkin berbeda dengan yang dipikirkan oleh orang Barat ketika mendengar kata yang sama. Di dunia Barat istilah budaya juga digunakan dalam pengertian yang populer, yaitu budaya tinggi (high culture) untuk menyebut bidang estetik (keindahan) seperti seni, drama, balet dan karya sastra dan budaya rendah (low cultur) untuk menyebut seni yang lebih populer seperti musik pop, dan media massa. Namun ada beberapa ciri khas budaya yang dapat dijadikan petunjuk untuk memperoleh gambaran tentang definisi budaya.

Dalam istilah Inggris, ”budaya” adalah culture, yang berasal dari kata Latin colere yang berarti “mengolah, mengerjakan” terutama mengolah tanah atau bertani (Koentjaraningrat, 2000). Hal ini berarti bahwa budaya merupakan aktivitas manusia, bukan aktivitas makhluk yang lain dan menjadi ciri manusia. Dari sudut antropologi budaya, mengkategorian temuan artifak yang disebut ”Pithecanthropus Erectus”, ”Homo Soloensis” sebagai manusia atau bukan, didasarkan pada kemampuan artifak itu saat hidup dalam menciptakan benda budaya. Misalnya Pithecanthropus Erectus (manusia kera yang berdiri tegak) yang ditemukan di sungai Bengawan Solo, Sangiran, Solo oleh sebagian ahli sudah dipandang sebagai ”manusia” karena dipandang ada hubungan dengan diketemukannya kapak di dekat Pithecanthroupus Pekinensis yang memiliki ciri sama yang diketemukan di Solo dan dipandang satu jaman masa hidupnya.
Ibarat sebuah mobil yang dipandang dari berbagai sudut pandang (mesinnya, harganya, atau potongan bodinya), manusia dapat dilihat dari kedudukannya sebagai homo humanus, homo socius dan homo educandum.. Humanus berasal dari bahasa Latin yang berarti lebih halus, berbudaya dan manusiawi. Manusia akan selalu mencipta, menikmati dan merasakan hal-hal yang bisa membuat dia lebih halus, berbudaya dan manusiawi. Manusia menyukai musik, menari atau berperilaku sopan. Semua itu didorong oleh kodratnya sebagai manusia sebagai homo humanus. Koentjaraningrat menjelaskan peradaban (civilization) itu sebagai bagian dan merupakan bagian kebudayaan yang halus dan indah seperti kesenian, ilmu pengetahuan, sopan santun dan sistem pergaulan yang kompleks dalam suatu masyarakat dengan struktur yang kompleks. Sering juga peradaban dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.
Selain sebagai makhluk yang berbudaya, manusia juga makhluk yang selalu berinteraksi dan tidak terlepas dari orang lain (homo socius). Dalam berinteraksi dengan lingkungannya, manusia menggunakan simbol (homo simbolicum). Manusia akan banyak menggunakan benda-benda sebagai simbol untuk mengekspresikan sesuatu. Misalnya, penggunaan simbol berupa kalung salib bagi kelompok agama Nasrani.Dalam berinteraksi dengan orang lain itu ada proses pendidikan yang berlangsung karena manusia adalah makhluk yang mendidik dan terdidik (homo educandum).
Menurut Margaret Mead (1901-1978) budaya adalah perilaku yang dipelajari dari sebuah masyarakat atau sub kelompok. Ada banyak pengertian mengenai kebudayaan yang dipergunakan. Kluckhohn dan Kroeber mencatat sekitar 175 definisi kebudayaan yang berbeda. Koentjaraningrat mengartikan budaya dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit budaya itu adalah kesenian (Koentjaraningrat, 2000). Secara luas, Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya. Kita lihat, pengertian yang dibuat oleh Koentjaraningrat itu sangat luas yang mencakup seluruh aktivitas manusia.
Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa budaya itu berkaitan dengan kata kunci yang mencakup (1) gagasan, (2) perilaku dan (3) hasil karya manusia.
Sebagai pedoman pembahasan kita selanjutnya, pengertian kebudayaan ini difokuskan pada pendapat Bullivant yang mendefinisikan budaya sebagai program bertahan hidup dan adaptasi suatu kelompok dengan lingkungannya. Program budaya terdiri dari pengetahuan, konsep, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh anggota kelompok melalui sistem komunikasi. (Banks, 1993: 8). Kebudayaan juga terdiri dari keyakinan, simbol, dan interpretasi dalam kelompok manusia. Sebagian besar ilmuwan sosial saat ini memandang budaya terdiri dari aspek simbolik, ideasional, dan tidak terlihat (intangible) dari masyarakat manusia. Esensi budaya bukan pada benda, alat, atau elemen budaya yang terlihat lainnya namun bagaimana kelompok menginterpretasikan, menggunakan, dan merasakannya. Nilai-nilai, simbol, interpretasi, dan perspektiflah yang membedakan seseorang dari orang yang lain dari masyarakat manusia, bukan obyek material dan aspek yang terlihat lainya dari masyarakat manusia. Orang-orang di dalam suatu kebudayaan biasanya menginterpretasikan makna simbol, benda dan perilaku menurut cara yang sama atau yang serupa (Banks, 1993: 8) dan ada kemungkinan orang menginterpretasikan secara lain pada suatu perilaku yang sama. Semua kebudayaan menggunakan bahasa tubuh (body language) untuk berkomunikasi. Ada kebudayaan yang lebih banyak menggunakan bahasa tubuh dibandingkan dengan yang lainnya. Masalah dalam penggunakan bahasa tubuh untuk komunikasi dapat terjadi jika dua makna yang bertentangan menggambarkan satu gerakan tubuh. Misalnya di Bulgaria, menganggukkan berarti “tidak” dan menggelengkan kepala berarti “ya” (Axtel, 1995) sedangkan di tempat lain umumnya mengartikan sebaliknya.

B.         Unsur – Unsur Budaya
E.B. Tylor (1832-1917) memandang budaya sebagai kompleksitas hal yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Raymond Williams (1921-1988) budaya meliputi meliputi organisasi produksi, struktur keluarga, struktur lembaga yang mengungkapkan atau mengatur hubungan-hubungan sosial, bentuk komunikasi yang khas dalam anggota masyarakat. Menurut Claude Levi-Strauss, kebudayaan harus dipandang dalam konteks teori komunikasi yaitu sebagai keseluruhan sistem simbol (bahasa, kekerabatan, ekonomi, mitos, seni) yang pada berbagai tingkat memungkinkan dan mengatur komunikasi (Cremers, 1997: 147). Hal ini karena manusia adalah homo simbolicum. Kita lihat bahwa budaya diartikan selalu dalam konteks hubungannya sebagai anggota masyarakat.
Koentjaraningrat lebih sistematis dalam memerinci unsur-unsur kebudayaan. Unsur-unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat (2000: 2) adalah sebagai berikut:
1.      Sistem religi dan upacara keagamaan.
2.      Sistem dan organisasi kemasyarakatan.
3.      Sistem pengetahuan
4.      Bahasa
5.      Kesenian
6.      Sistem mata pencaharian hidup.
7.      Sistem teknologi dan peralatan.
Secara garis besar unsur-unsur yang berada di urutan bagian atas merupakan unsur yang lebih sukar berubah daripada unsur-unsur di bawahnya. Namun perlu diperhatikan, karena ada kalanya sub unsur dari suatu unsur di bawahnya lebih sukar diubah dari pada sub unsur dari sutau unsur yang tercantum di atasnya. Misalnya sub-sub unsur hukum waris yang merupakan sub unsur dari hukum (bagian dari unsur sistem dan organisasi kemasyarakatan) lebih sukar berubah bila dibandingkan dengan sub-sub unsur arsitektur tempat pemujaan (bagian dari sub unsur prasarana upacara yang menjadi bagian dari sistem religi).
Unsur-unsur yang diurutkan di atas merupakan unsur budaya yang universal dalam arti ada di manapun, kapan pun dan berlaku pada siapa pun. Artinya dibelahan dunia mana pun ada ketujuh unsur itu. Dalam sejarah manusia baik yang primitif maupun yang modern ke tujuh unsur itu berlaku pada siapapun yang dinamakan “manusia”.
Kebudayaan memberi pengetahuan dan ide tentang dan untuk berperilaku. Artinya, orang harus mengetahui jenis pengetahuan dan ide yang harus digunakan pada jenis perilaku tertentu yang sesuai (untuk berperilaku) dan juga untuk memahami perilaku tentang apa yang dia lihat (tentang perilaku).
Misalnya, kita biasa melihat ada kebiasaan orang Tionghoa yang menggunakan sumpit, yang terbuat dari batangan kayu atau bambu, sebagai alat pengganti senduk ketika mereka makan. Kita perlu pengetahuan dan ide tentang apa artinya dan aturan apa yang digunakan untuk menggunakannya. Jika kita adalah anggota kelompok sosial yang menggunakan sumpit itu, kita akan tahu aturan yang mendasarinya. Kelompok asing lain hanya dapat melihat perilaku orang Tionghoa yang menggunakan sumpit atau menanyakannya bagaimana mereka memperoleh ketrampilan seperti itu dan apa maknanya.
Sekalipun demikian, orang asing itu mungkin tidak mempelajari segala hal tentang penggunaan sumpit namun bila dia hidup dalam jangka waktu lama dengan kelompok sosial itu maka ia akan menemukan aturan tentang kesabaran dan etiket sekitar proses sederhana berupa makan dengan menggunakan sumpit. Ini menunjukkan pada kita bahwa kebutuhan biologis instingtif untuk memuaskan perut lapar harus dilakukan menurut cara yang yang terprogram secara berbudaya.
Contoh sumpit juga memperlihatkan bahwa dua jenis perilaku dapat tercakup dalam rutinitas sehari-hari seperti makan. Pertama, perilaku instrumental (instrumental behavior), yang dipakai untuk mendapatkan sesuatu dan yang diprogram oleh pengetahuan instrumental dari budaya. Kedua adalah perilaku ekspresif (expressive behavior), yang lebih menekankan pada pengekspresian keyakinan, ide, dan nilai-nilai yang penting. Kesabaran dan etiket bukan hanya diperlukan jika makan dan jika menunjukkan perilaku instrumental yang relevan, namun merupakan ekspresi dari petunjuk tentang cara makan, nilai yang ditempatkan pada makan dan jenis-jenis nilai yang ada seputar makan.
Perilaku ekspresif merupakan bagian penting dari ritual keagamaan. Tidak mungkin nampak melakukan sesuatu dalam pengertian instrumental, sekalipun mengekspresikan keyakinan dan ide yang penting Namun sekalipun ritual itu tidak melakukan apa-apa, namun memiliki fungsi penting dalam membawa kenyamanan psikhologis. Ritual dapat menjadi cara penting untuk menghilangkan/mengurangi perasaan frustasi atau kegelisahan saat krisis seperti banjir, gempa, Tsunami, atau bencana alamiah lainnya. Dengan demikian ritual religius dapat dikatakan memiliki fungsi instrumental.
Akhirnya penting untuk diingat bahwa pada sebagian besar masyarakat, program yang demikian memberi sejumlah pilihan dan orang akan mengubah dan berperilaku secara bebas. Masing-masing individu dapat mengembangkan budaya pribadi. Kadang-kadang “melakukan sesuatu semaunya sendiri” menjadi tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya (maladaptive) untuk bertahan hidup dan mereka dapat terisolasi (ingat budaya terutama adalah program bersama).
C.         Tiga Wujud Kebudayaan
Kalau kita perhatikan definisi budaya seperti diuraikan di atas, maka wujud kebudayaan (Koentjaraningrat, 2000: 5) bisa terdiri dari :
1.      Wujud idiil (adat tata kelakuan) yang bersifat abstrak, tak dapat diraba. Terletak di alam pikiran dari warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup, yang nampak pada karangan, lagu-lagu. Fungsinya adalah pengatur, penata, pengendali, dan pemberi arah kelakuan manusia dalam masyarakat. Adat terdiri atas beberapa lapisan, yaitu sistem nilai budaya (yang paling abstrak dan luas), sistem norma-norma (lebih kongkrit), dan peraturan khusus mengenai berbagai aktivitas sehari-hari (aturan sopan santun) yang paling kongkrit dan terbatas ruang lingkupnya.
2.      Wujud kedua adalah sistem sosial mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas manusia yang berinteraksi yang selalu mengikuti pola tertentu. Sifatnya kongkrit, bisa diobservasi.
3.      Wujud ketiga adalah kebudayaan fisik yang bersifat paling kongkrit dan berupa benda yang dapat diraba dan dilihat.
Ketiga wujud dari kebudayaan di atas dalam kenyataan kehidupan masyarakat tidak terpisah satu dengan yang lain. Kebudayaan idiil memberi arah pada perbuatan dan karya manusia. Pikiran atau ide dan karya manusia menghasilkan benda kebudayaan fisik. Sebaliknya kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pola perbuatan, bahkan juga mempengaruhi cara berpikirnya.
D.         Perbedaan Antara Lingkungan Fisik , Sosial , dan Metafisik
Tentu Anda tahu bahwa pada dasarnya kita tidak bisa lepas dan terpisah dari lingkungan kita. Pada dasarnya kelompok sosial merupakan kolektivitas manusia yang kurang lebih permanen yang hidup bersama dan berinteraksi dengan berbagai lingkungan yang mengitari dirinya. Kelompok sosial harus bertahan hidup dengan beradaptasi dengan dan mengubah lingkungannya. Pengetahuan, ide, dan ketrampilan yang memungkinkan suatu kelompok untuk bertahan hidup dapat dipandang sebagai program bertahan hidup atau budaya.
Keberhasilan bertahan hidup suatu kelompok tergantung pada jenis lingkungan yang dihadapi kelompok. Pertama, ada lingkungan geografis, atau habitat fisik. Lingkungan ini memberi berbagai keunikan alamiah di mana kelompok sosial itu beradaptasi dengan atau mengubah lewat teknologinya.
Kedua, anggota kelompok sosial harus hidup bersama dan berinteraksi. Kelompok sosial sebagai satu keseluruhan memiliki kelompok lain sebagai tetangga yang akan membentuk lingkungan sosial dengan mana mereka juga berinteraksi. Beberapa dari kelompok ini ada interaksi lokal dan memungkinkan interaksi tatap muka, sedangkan yang lain lebih berjarak. Dalam skala dunia, kelompok sosial utama seperti negara hidup dalam lingkungan sosial regional dan global dan harus beradaptasi dengan negara lain. Bagian budaya sebagian besar tersusun dari semua kebiasaan dan aturan yang memungkinkan semua skala interaksi yang berbeda ini dilakukan.
Ketiga, ada suatu jenis lingkungan yang biasanya kita tidak memikirkannya karena tidak terlihat atau berinteraksi di dalam dunia ini. Namun nyatanya jutaan manusia dan sangat mempengaruhi hidup. Asalnya terletak pada apa yang dipikirkan terhadap dorongan manusia yang mendasar (a basic human drive) atau kebutuhan universal untuk menemukan makna dan penjelasan dalam hidupnya. Satu cara untuk memuaskan kebutuhan akan makna ini adalah mengembangkan keyakinan bahwa hidup ditentukan oleh Sesuatu yang lebih tinggi, yang adanya di luar umat manusia, seperti Tuhan atau hal-hal supernatural lainnya. Seringkali ada pemikiran tentang kehidupan surga. Karena lingkungan ini berlokasi di luar pengalaman disini-dan-kini (outside here-and-now experience) atau transenden (melampaui dunia), kita dapat menunjuk jenis dunia spiritual ini sebagai lingkungan metafisik (metaphysical environment). Tanpa memasukkan lingkungan metafisik dalam pembahasan kita, sulit untuk memahami secara utuh mengapa beberapa kelompok sosial hidup sebagaimana mereka lakukan. Misalnya, kehidupan tradisional suku Indian Navajo di Arizona, Amerika. Kita tidak akan dapat memahami secara utuh jika tidak mengetahui tentang keyakinan mereka tentang lingkungan metafisik yang berbahaya yang di sekelilingnya terdapat dukun, santet dan keberadaan hal-hal supernatural. Suku Navajo mempercayai bahwa ada sesuatu yang mempengaruhi kesehatan dan keselamatan seseorang. Eksistensinya memerlukan adopsi mantera untk menjauhkan pengaruh setan dan menggunakan berbagai praktek jampi-jampi (ethnomedical) seperti upacara menyembuhan orang yang menderita sakit.
Desain rumah Navajo tradisional (hogans) dan adat tradisional berkembang berdasarkan pandangan Navajo tentang bagaimana mereka mempertahankan hidup dalam lingkungan metafisik mereka. Begitu juga suku Baduy di Jawa Barat yang lebih menghargai kakinya untuk diberi bantal ketika sedang tidur daripada kepalanya karena memandang bahwa kaki lebih digunakan untuk menopang seluruh anggota tubuh mereka. Hal esensial tentang praktek ini dan berbagai tempat lain di dunia ini adalah bahwa lingkungan metafisik yang demikian itu nyata bagi yang mempercayainya seperti halnya Allah bagi orang Islam dan Yesus bagi orang Nasrani.
E.          Perbedaan Antara Non Budaya dan Budaya
Memperhatikan luasnya pengertian budaya di atas, maka pertanyaan selanjutnya adalah apa yang membedakan antara budaya dan non budaya? Hal-hal yang non budaya mencakup benda yang keberadaannya sudah ada dengan sendirinya atau ciptaan Tuhan yang tidak/belum mendapat sentuhan aktivitas manusia (benda-benda alamiah seperti batu, pohon, gunung, tanah, planet), sedangkan budaya mencakup sesuatu yang keberadaannya sudah mendapat sentuhan tangan manusia (misal, patung marmer/onix, bonsai, bangunan, aturan makan dan lain-lain). Jadi batu dan kayu dapat dipandang sebagai non budaya bila didapatkan apa adanya sebagai batu gunung dan pepohonan, namun menjadi sebuah benda budaya bila mendapat campur tangan manusia.
F.     Pranata Kebudayaan
Pranata (institution) yang ada dalam kebudayaan dikelompokkan berdasarkan kebutuhan hidup manusia yang hidup dalam ruang dan waktu :
1.      Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan (kinship atau domestic institutions). Misal: perkawinan, pengasuhan anak.
2.       Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk pencaharian hidup, memproduksi, menimbun dan mendistribusi harta benda (economic institutions). Contoh : pertanian, industri, koperasi, pasar.
3.      Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan penerangan dan pendidikan manusia supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna (educational institutions). Contoh : pengasuhan anak, pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi, pendidikan keagamaan, pers.
4.      Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan ilmiah manusia, menyelami alam semesta (scientific institutions). Contoh : penjelajahan luar angkasa, satelit .
5.      Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia menyatakan keindahannya dan rekreasi (aesthetic and recreational institutions). Contoh: batik, seni suara, seni gerak, seni drama, olah raga.
6.      Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau dengan alam gaib (religious institutions). Contoh : masjid, do’a, kenduri, upacara, pantangan, ilmu gaib.
7.      Pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan jasmaniah manusia (somatic institutions). Contoh : perawatan kecantikan, pemeliharaan kesehatan, kedokteran. (Koentjaraningrat, 2000).
G.    Pengertian Pendidikan Multikultural
Pengertian “Multikultural” secara luas mencakup pengalaman yang membentuk persepsi umum terhadap usia, gender, agama, status sosial ekonomi, jenis identitas budaya, bahasa, ras, dan berkebutuhan khusus.
Ketika membahas multikultural atau studi budaya lainnya, maka konsep ethic dan Emic akan selalu muncul. Ethic dan emic sebenarnya merupakan istilah anthropologi yang dikembangkan Pike (1967). Istilah ini berasal dari kajian anthropologi bahasa, yaitu Phonemics yang merupakan studi yang mempelajari suara unik pada bahasa tertentu dan Phonetics atau studi yang mempelajari bunyi-bunyian yang ditemukan pada semua bahasa (universal) pada semua budaya. Pike memakai istilah Emic dan Ethic untuk menjelaskan dua sudut pandang dalam mempelajari perilaku multikultural. Ethic adalah sudut pandang dalam mempelajari budaya dari luar sistem budaya itu, dan merupakan pendekatan awal dalam mempelajari suatu sistem budaya yang asing. Sedangkan emic sebagai sudut pandang merupakan studi perilaku dari dalam sistem budaya tersebut (Segall, 1990). Ethic adalah aspek kehidupan yang muncul konsisten pada semua budaya, emic adalah aspek kehidupan yang muncul dan benar hanya pada satu budaya tertentu. Jadi, Ethic menjelaskan universalitas suatu konsep kehidupan sedangkan emic menjelaskan keunikan dari sebuah konsep budaya (Matsumoto, 1996).
Pemahaman kedua konsep ini sangat penting dan menjadi dasar dalam memahami budaya dalam Pendidikan Multikultural. Sebuah perilaku manusia kita akui kebenarannya sebagai sebuah ethic, maka dapat dikatakan bahwa perilaku manusia tersebut adalah universal, termasuk dalam kebenarannya. Hasil penelitian yang dapat dilakukan dapat digeneralisasi dan dijadikan dasar dalam penelitian selanjutnya. Misalnya ekspresi tertawa pada semua budaya untuk mengekspresikan rasa senang. Sebaliknya sebuah perilaku atau nilai hanya diketemukan pada satu budaya dan hanya benar pada budaya tersebut, dalam studi Pendidikan Multikultural tidak boleh digeneralisasi dan hanya berlaku pada satu budaya tersebut saja. Misalnya suku Dayak di Kalimantan yang memenggal kepala (perilaku) setiap musuh yang dibunuh atau suku Indian yang mengambil kulit kepala dari musuhnya yang telah meninggal adalah satu perilaku emic yang khas dan benar hanya pada budaya tersebut. Perilaku khas Suku Dayak itu tidak dapat digeneralisir dalam analisa untuk menjelaskan perilaku seluruh suku di Indonesia.
Pendidikan Multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara (Banks, 2001). Di dalam pengertian ini terdapat adanya pengakuan yang menilai penting aspek keragaman budaya dalam membentuk perilaku manusia.
Lebih lanjut, James A. Banks dalam bukunya ”Multicultural Education,” mendefinisikan Pendidikan Multikultural sebagai berikut:
Multicultural education is an idea, an educational reform movement, and a process whose major goal is to change the structure of educational institutions so that male and female students, exceptional students, and students who are members of diverse racial, ethnic, and cultural groups will have an equal chance to achieve academically in school (Banks, 1993: 1)

Pendidikan Multikultural adalah ide, gerakan pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengubah struktur lembaga pendidikan supaya siswa baik pria maupun wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan kultur yang bermacam-macam itu akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah.
Jadi Pendidikan Multikultural akan mencakup:
a.         Ide dan kesadaran akan nilai penting keragaman budaya.
b.        Gerakan pembaharuan pendidikan.
c.         Proses pendidikan.
H.         Dasar Pendidikan Multikultural
Berdasarkan kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural, maka untuk membentuk negara Indonesia yang kokoh perlu mengembangkan jenis pendidikan yang cocok untuk bangsa yang multikultural. Jenis pendidikan yang cocok untuk bangsa yang multikultur ini adalah Pendidikan Multikultural.
Sebagaimana disebutkan di atas, Pendidikan Multikultural paling tidak menyangkut tiga hal yaitu (1) ide dan kesadaran akan nilai penting keragaman budaya, (2) gerakan pembaharuan pendidikan dan (3) proses. Berikut ini akan diuraikan dasar yang membentuk perlunya Pendidikan Multikultur.
(1)   kesadaran nilai penting keragaman budaya
Perlu peningkatan kesadaran bahwa semua siswa memiliki karakteristik khusus karena usia, agama, gender, kelas sosial, etnis, ras, atau karakteristik budaya tertentu yang melekat pada diri masing-masing. Pendidikan Multikultural berkaitan dengan ide bahwa semua siswa tanpa memandang karakteristik budayanya itu seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah. Perbedaan yang ada itu merupakan keniscayaan atau kepastian adanya namun perbedaan itu harus diterima secara wajar dan bukan untuk membedakan. Artinya perbedaan itu perlu kita terima sebagai suatu kewajaran dan perlu sikap toleransi agar kita bisa hidup berdampingan secara damai tanpa melihat unsur yang berbeda itu untuk membeda-bedakan.
Matakuliah Pendidikan Multikultural ini memberikan pemahaman mengenai berbagai jenis kegiatan pendidikan sebagai bagian integral dari kebudayaan universal. Di dalamnya akan dibahas kebudayaan yang teraktualisasi secara internasional, regional, dan lokal sepanjang sejarah kemanusiaan. Kegiatan pendidikan sebagai interaksi sosio-kultural paedagogis di Indonesia bukan hanya dilakukan oleh suku bangsa Indonesia, tapi berbagai bangsa. Di dalam Pendidikan Multikultural ini akan diungkap pula aktivitas paedagogis masa lalu, masa kini dan masa depan di berbagai belahan dunia dengan fokus kebudayaan Indonesia.
(2)   Gerakan pembaharuan pendidikan
Ide penting yang lain dalam Pendidikan Multikultural adalah bahwa sebagian siswa karena karakteristik tersebut di atas, ternyata ada yang memiliki kesempatan yang lebih baik untuk belajar di sekolah favorit tertentu sedangkan siswa dengan karakteristik budaya yang berbeda tidak memiliki kesempatan itu.
Beberapa karakteristik institusional dari sekolah secara sistematis menolak kelompok siswa untuk mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama, walaupun itu dilakukan secara halus. Dalam arti, dibungkus dalam bentuk aturan yang hanya bisa dipenuhi oleh segolongan tertentu dan tidak bisa dipenuhi oleh golongan yang lain. Kita perhatikan di lingkungan sekitar kita. Ada kesenjangan ketika muncul fenomena sekolah favorit yang didominasi oleh golongan orang kaya karena ada kebijakan lembaga yang mengharuskan untuk membayar uang pangkal yang mahal untuk bisa masuk dalam kelompok sekolah favorit itu. Ada kebijakan yang dipandang tidak adil bagi golongan Tionghoa karena ada diskriminasi terhadap kelompok mereka sehingga mereka hanya berkecimpung di bidang yang sangat terbatas, misalnya dagang, pengacara, dokter dan mengalami kesulitan berkarier di bidang ketentaraan dan pemerintahan. Mereka dan sebagian warga negara asing lainnya sulit mendapatkan status kewarganegaraan bagi anak-anak mereka sebelum tahun 2006. Ada keluhan di kalangan atlit bulutangkis untuk dimasuki golongan pribumi karena sudah didominasi oleh warga keturunan Cina. Warga dari Suku Anak Dalam di Lampung kurang mendapat kesempatan memperoleh pendidikan yang memadai karena karakteristik budaya mereka yang unik dan tinggal di daerah pedalaman.
Pendidikan Multikultural bisa muncul berbentuk bidang studi, program, dan praktek yang direncanakan lembaga pendidikan untuk merespon tuntutan, kebutuhan dan aspirasi berbagai kelompok. Sebagaimana ditunjukkan Grant dan Sleeter, Pendidikan Multikultur bukan sekedar merupakan praktek aktual satu bidang studi atau program pendidikan semata, namun mencakup seluruh aspek pendidikan. Pada unit selanjutnya, akan dibahas mengenai hal ini.
(3)   proses pendidikan.
Pendidikan Multikultural juga merupakan proses (pendidikan) yang tujuannya tidak akan pernah terrealisasikan secara penuh. Pendidikan Multikultural adalah proses menjadi. Pendidikan Multikultural harus dipandang sebagai suatu proses yang terus-menerus (an ongonging process), dan bukan sebagai sesuatu yang langsung bisa tercapai. Tujuan utama dari Pendidikan Multikultural adalah untuk memperbaiki prestasi secara utuh bukan sekedar meningkatkan skor.
Persamaan pendidikan, seperti juga kebebasan dan keadilan, merupakan ide umat manusia yang harus dicapai dengan perjuangan keras namun tidak pernah dapat mencapainya secara penuh. Ras, gender, dan diskriminasi terhadap orang yang berkebutuhan akan tetap ada sekalipun kita telah berusaha sekeras mungkin menghilangkan masalah ini. Jika prasangka dan diskriminasi dikurangi pada suatu kelompok, biasanya keduanya terarah pada kelompok lain atau mengambil bentuk yang lain. Karena tujuan Pendidikan Multikultur tidak akan pernah tercapai secara penuh, kita seharusnya bekerja secara kontinyu meningkatkan persamaan pendidikan untuk semua siswa (educational equality for all students).
Sejalan dengan pemikiran dari Banks di atas, Gorski menyimpulkan bahwa sejak konsep paling awal muncul pada tahun 1960-an, pendidikan multikultural telah berubah, difokuskan kembali, dan dikonseptualisasikan kembali. Pendidikan multikultural berada di dalam kondisi perubahan baik teoritis maupun praktek sehingga jarang ada dua pengajar atau ahli pendidikan yang memiliki definisi yang sama tentang pendidikan multikultural. Seperti halnya dalam suatu dialog pendidikan, individu cenderung mengubah konsep untuk disesuaikan dengan fokus tertentu. Beberapa di antaranya membahas pendidikan multikultural sebagai suatu perubahan kurikulum, mungkin dengan menambah materi dan perspektif baru. Yanglain berbicara tentang isu iklim kelas dan gaya mengajar yang dipergunakan kelompok tertentu. Yang lain berfokus pada isu sistem dan kelembagaan seperti jurusan, tes baku, atau ketidak cocokan pendanaan antara golongan tertentu yang mendapat jatah lebih sementara yang lain kurang mendapat perhatian. Yang lain lagi melihat perubahan pendidikan sebagai bagian dari perubahan masyarakat yang lebih besar di mana kita mengeksplorasi dan mengkritik dasar-dasar kemasyarakatan yang menindas dan bagaimana pendidikan berfungsi untuk memelihara status quo – seperti di Amerika Serikat yang terlalu berpihak pada supremasi kulit putih, kapitalisme, situasi sosio-ekonomi global dan eksploitasi. Sekalipun banyak perbedaan konsep pendidikan multikultural, ada sejumlah ide yang dimiliki bersama dari semua pemikiran dan merupakan dasar bagi pemahaman Pendidikan Multikultural:
 kesempatan yang sama bagi setiap siswa untuk mewujudkan potensi sepenuhnya, penyiapan pelajar untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat antar budaya,  penyiapan pengajar agar memudahkan belajar bagi setiap siswa secara efektif, tanpa memperhatikan perbedaan atau persamaan budaya dengan dirinya,  partisipasi aktif sekolah dalam menghilangkan penindasan dalam segala bentuknya. Pertama-tama dengan menghilangkan penindasan di sekolahnya sendiri, kemudian menghasilkan lulusan yang sadar dan aktif secara sosial dan kritis pendidikan harus berpusat pada siswa dengan mendengarkan aspirasi dan pengalaman siswa,  pendidik, aktivis, dan yang lain harus mengambil peranan lebih aktif dalam mengkaji kembali semua praktek pendidikan, termasuk teori belajar, pendekatan mengajar, evaluasi, psikhologi sekolah dan bimbingan, materi pendidikan dan buku teks, dan lain-lain.

Menurut Paul Gorski pendidikan multikultural merupakan pendekatan progresif untuk mengubah pendidikan secara holistik dengan mengkritik dan memusatkan perhatian pada kelemahan, kegagalan, dan praktek diskriminatif di dalam pendidikan akhir-akhir ini. Keadilan sosial, persamaan pendidikan, dan dedikasi menjadi landasan Pendidikan Multikultural dalam memfasilitasi pengalaman pendidikan agar semua siswa dapat mewujudkan semua potensinya secara penuh dan menjadikannya sebagai manusia yang sadar dan aktif secara lokal, nasional, dan global.

I.             Tujuan Pendidikan Multikultural
Hasil yang diharapkan Pendidikan Multikultural terlihat pada definisi, justifikasi, asumsi, dan pola-pola pembelajarannya. Ada banyak variasi tujuan khusus dan tujuan umum Pendidikan Multikultural yang digunakan oleh sekolah sesuai dengan faktor kontekstual seperti visi dan misi belakang sekolah, siswa, lingkungan sekolah, dan perspektif. Tujuan Pendidikan Multikultural dapat mencakup tiga aspek belajar (kognitif, afektif, dan tindakan) dan berhubungan baik nilai-nilai intrinsik (ends) maupun nilai instrumental (means) Pendidikan Multikultural. Tujuan Pendidikan Multikultural mencakup:

1.      Pengembangan Literasi Etnis dan Budaya
Salah satu alasan utama gerakan untuk memasukkan Pendidikan Multikultural dalam program sekolah adalah untuk memperbaiki kelalaian dalam penyusunan kurikulum. Pertama, kita harus memberi informasi pada siswa tentang sejarah dan kontribusi dari kelompok etnis yang secara tradisional diabaikan dalam kurikulum dan materi pembelajaran, kedua, kita harus menempatkan kembali citra kelompok ini secara lebih akurat dan signifikan, menghilangkan bias dan informasi menyimpang yang terdapat dalam kurikulum. Yang dimaksud dengan informasi menyimpang ini adalah informasi yang salah tentang sistem nilai dan budaya dari etnis tertentu atau melihat sistem nilai budaya mereka dari sudut pandang kelompok lain. Siswa masih terlalu sedikit mengetahui tentang sejarah, pewarisan, budaya, bahasa, dan kontribusi kelompok masyarakat yang beragam dari bangsanya sendiri.
Jadi, tujuan utama Pendidikan Multikultural adalah mempelajari tentang latar belakang sejarah, bahasa, karakteristik budaya, sumbangan, peristiwa kritis, individu yang berpengaruh, dan kondisi sosial, politik, dan ekonomi dari berbagai kelompoketnis mayoritas dan minoritas. Informasi ini harus komprehensif, analistis, dan komparatif, dan harus memasukkan persamaan dan perbedaan di antara kelompok-kelompok yang ada.
Tujuan ini cocok untuk mayoritas siswa maupun kelompok minoritas etnis. Kesalahan yang sering dibuat adalah menganggap bahwa anggota kelompok etnis minoritas telah mengetahui budaya dan sejarahnya atau bahwa jenis pengetahuan ini hanya relevan untuk mereka, bukan untuk kami. Pendidikan Multikultural berargumentasi sebaliknya. Keanggotaan kelompok etnis tidak menjamin pengetahuan diri atau pemilikan pengetahuan tentang kelompok itu. Orang yang berasal dari Jawa tidak otomatis mengetahui budaya Jawa. Orang Bali tidak otomatis mengetahui keyakinan dan budaya yang ada di daerahnya. Mempelajari sejarah, kehidupan, dan budaya kelompok etnis cocok untuk semua siswa karena mereka perlu belajar lebih akurat tentang warisan budayanya sendiri maupun budaya orang lain. Lebih dari itu, pengetahuan tentang pluralisme budaya merupakan dasar yang diperlukan untuk menghormati, mengapresiasi, menilai dan memperingati keragaman, baik lokal, nasional dan internasional.

2.    Perkembangan Pribadi
Dasar psikhologis Pendidikan Multikultural menekankan pada pengembangan pemahaman diri yang lebih besar, konsep diri yang positif, dan kebanggaan pada identitas pribadinya. Penekanan bidang ini merupakan bagian dari tujuan Pendidikan Multikultural yang berkontribusi pada perkembangan pribadi siswa, yang berisi pemahaman yang lebih baik tentang diri yang pada akhirnya berkontribusi terhadap keseluruhan prestasi intelektual, akademis, dan sosial siswa.
Siswa merasa baik tentang dirinya sendiri karena lebih terbuka dan reseptif (menerima) dalam berinteraksi dengan orang lain dan menghormati budaya dan identitasnyanya. Pendapat ini mendapat justifikasi lebih lanjut dengan temuan penelitian yang berkaitan dengan adanya hubungan timbal balik antara konsep diri, prestasi akademis, identitas individu, etnis dan budaya.
Para siswa telah menginternalisasi konsep negatif dan salah tentang etnisnya sendiri dan kelompok etnis lain. Siswa dari kelompok lain mungkin berpendirian bahwa warisan budayanya hanya memiliki nilai tawar yang kecil, sedangkan nilai yang ada pada kelompok dominan mungkin terlalu ditinggikan. Mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang diri mereka sendiri dan pengalaman budaya dan kelompok etnis yang lain dapat memperbaiki penyimpangan ini. Pendidikan Multikultural juga membantu mencapai tujuan memaksimalkan potensi kemanusiaan, dengan memenuhi kebutuhan individu, dan mengajar siswa seutuhnya dengan mempertinggi rasa penghargaan pribadi, kepercayaan dan kompetensi dirinya. Pendidikan Multikultural menciptakan kondisi kesiapan psikhososial dalam diri individu dan lingkungan belajar yang memiliki efek positif pada upaya dan penguasaan tugas akademis.
3.       Klarifikasi Nilai dan Sikap
Pendidikan Multikultural mengangkat nilai-nilai inti yang berasal dari prinsip martabat manusia (human dignity), keadilan, persamaan, kebebasan, dan demokrasi. Maksudnya adalah mengajari generasi muda untuk menghargai dan menerima pluralisme etnis, menyadarkan bahwa perbedaan budaya tidak sama dengan kekurangan atau rendah diri, dan untuk mengakui bahwa keragaman merupakan bagian integral dari kondisi manusia. Pengklarifikasian sikap dan nilai etnis didesain untuk membantu siswa memahami bahwa berbagai konflik nilai itu tidak dapat dielakkan dalam masyarakat pluralistik; dan bahwa konflik tidak harus menghancurkan dan memecah belah. Jika kita mengelola dengan baik hal itu akan dapat menjadi katalis kemajuan sosial dan ada kekuatan dalam pluralisme etnis dan budaya; bahwa kesetiaan etnis (ethnic allegiance) dan loyalitas nasional (national loyalty) bukan tidak dapat didamaikan; dan bahwa kerjasama dan koalisi di antara kelompok etnis tidak tergantung pada pemilikan keyakinan, nilai, dan perilaku yang sama. Menganalisa dan mengklarifikasi sikap dan nilai etnis merupakan langkah kunci dalam proses melepaskan potensi kreatif individu untuk memperbarui diri dan masyarakat untuk tumbuh-kembang lebih lanjut.
4.      Kompetensi Multikultural
Penting sekali bagi siswa untuk mempelajari bagaimana berinteraksi dengan dan memahami orang yang secara etnis, ras, dan kultural berbeda dari dirinya. Dunia kita menjadi semakin lebih beragam, kompak, dan saling tergantung. Namun, bagi sebagian besar siswa, awal-awal pembentukan kehidupannya dihabiskan dengan isolasi atau terkurung di daerah kantong secara etnis dan kultural. Kita biasa hidup dalam kantong-kantong budaya yang sempit yang hanya mengenal budaya yang sempit pula. Peralihan dari generasi ke generasi mengalami penurunan pemahaman akan budaya kita. Nenek kita lebih mengenal budaya daerah kita. Orang tua kita mengalami sedikit pengurangan dalam memahami budayanya. Akhirnya dia mengajarkan nilai-nilai budaya yang tidak utuh itu pada kita. Akhirnya jadilah anak kita yang terkungkung oleh kepicikan budaya yang serba kurang dan menyimpang dari akar budaya yang sesungguhnya. Mungkin kita bukan orang Batak tulen atau Bali tulen yang benar-benar memahami budaya kita. Kita tidak menyiapkan lingkungan dan latar belakang multikultural yang berbeda untuk pembelajaran. Upaya interaksi lintas kultural seringkali terhalang oleh nilai, harapan dan sikap negatif ; kesalahan budaya (cultural blunders); dan dengan mencoba menentukan aturan etiket sosial (rules of social etiquette) dari satu sistem budaya terhadap sistem budaya yang lain. Hasilnya seringkali adalah frustasi, kecemasan, ketakutan, kegagalan dan permusuhan kelompok antarras dan antaretnik.
Pendidikan Multikultural dapat meredakan ketegangan ini dengan mengajarkan ketrampilan dalam komunikasi lintas budaya, hubungan antar pribadi, pengambilan perspektif, analisis kontekstual, pemahaman sudut pandang dan kerangka berpikir alternatif, dan menganalisa bagaimana kondisi budaya mempengaruhi nilai, sikap, harapan, dan perilaku. Pendidikan Multikultural dapat membantu siswa mempelajari bagaimana memahami perbedaan budaya tanpa membuat pertimbangan nilai yangsemena-mena tentang nilai intrinsiknya. Untuk mencapai tujuan ini anak dapat diberi pengalaman belajar dengan memberi berbagai kesempatan pada siswa untuk mempraktekkan kompetensi budaya dan berinteraksi dengan orang, pengalaman, dan situasi yang berbeda.
5.      Kemampuan Ketrampilan Dasar
Tujuan utama Pendidikan Multikultural adalah untuk memfasilitasi pembelajaran untuk melatih kemampuan ketrampilan dasar dari siswa yang berbeda secara etnis. Pendidikan Multikultural dapat memperbaiki penguasaan membaca, menulis dan ketrampilan matematika; materi pelajaran; dan ketrampilan proses intelektual seperti pemecahan masalah, berpikir kritis, dan pemecahan konflik dengan memberi materi dan teknik yang lebih bermakna untuk kehidupan dan kerangka berpikir dari siswa yang berbeda secara etnis. Menggunakan materi, pengalaman, dan contoh-contoh sebagai konteks mengajar, mempraktekkan, dan mendemonstrasikan penguasaan ketrampilan akademis dan mata pelajaran dapat meningkatkan daya tarik pembelajaran, mempertinggi relevansi praktis ketrampilan yang dipelajari, dan memperbaiki tempo siswa dalam melaksanakan tugas. Kombinasi kondisi ini akan membimbing ke arah upya yang lebih terfokus, penguasaan ketrampilan dan prestasi akademis. Misalnya, kita menggunakan sempoa dari etnis Tionghoa untuk melatih ketrampilan di bidang aritmatika.
Aspek lain dari Pendidikan Multikultural yang berkontribusi secara langsung pada level pencapaian ketrampilan dasar yang lebih tinggi adalah kesesuaian dengan gaya belajar dan mengajar. Tidak adanya titik temu dalam bagaimana siswa yang berbeda mempelajari masyarakat budayanya dan bagaimana mereka diharapkan belajar di sekolah menyebabkan banyak waktu dan perhatian dicurahkan pada pemecahan konflik daripada berkonsentrasi dalam tugas akademis itu sendiri. Mengajari siswa supaya biasa belajar meminimalkan konflik ini dan menyalurkan energi dan upaya secara langsung lebih diarahkan pada penyelesaikan tugas akademis. Jadi, pengajaran kontekstual secara kultural dalam melakukan proses pendidikan lebih efektif untuk siswa yang beragam secara etnis menjadi prinsip mendasar dari Pendidikan Multikultural.
Jenis iklim sosial yang ada di kelas juga mempengaruhi kinerja siswa adalam tugas akademis. Pengaruh ini terutama benar untuk kelompok etnis yang mempertimbangkan hubungan sosial dan latar belakang informal untuk proses belajar. Jika guru merespon kebutuhan ini dengan memasukkan simbol, gambar, dan informasi etnis dalam dekorasi ruang kelas, isi kurikulum dan interaksi interpersonal, maka siswa merasa nyaman dan memiliki afiliasi yang lebih besar dengan sekolah. Perasaan nyaman ini menciptakan latar belakang keterhubungan pribadi yang merupakan esensi rasa kepemilikan dalam belajar yang pada gilirannya lebih membimbing ke arah perhatian, upaya, dan waktu yang lebih terarah pada tugas, dan memperbaiki penguasaan tugas dan prestasi akademik.
6.      Persamaan dan Keunggulan Pendidikan
Tujuan persamaan multikultural berkaitan erat dengan tujuan penguasaan ketrampilan dasar, namun lebih luas dan lebih filosofis. Untuk menentukan sumbangan komparatif terhadap kesempatan belajar, pendidik harus memahami secara keseluruhan bagaimana budaya membentuk gaya belajar, perilaku mengajar, dan keputusan pendidikan. Mereka harus mengembangkan berbagai alat untuk melengkapi hasil belajar yang menggambarkan preferensi dan gaya dari berbagai kelompok dan individu. Dengan memberi pilihan yang lebih pada semua siswa pilihan tentang bagaimana mereka akan belajar, pilihan yang sesuai dengan gaya budaya mereka, tidak seorang pun akan terlalu dirugikan atau diuntungkan pada level prosedural dari belajar. Pilihan ini akan membimbing ke paralelisme (misalnya persamaan) dalam kesempatan belajar dan lebih komparatif dalam prestasi maksimum siswa dalam kemampuan intelektualnya.
Aspek lain dari tujuan memasukkan informasi akurat dalam mengajarkan tentang masyarakat adalah mengembangkan rasa kesadaran sosial (a sense of social consciousness), keberanian moral, dan komitmen terhadap persamaan; dan memperoleh ketrampilan dalam aktivitas politik untuk mereformasi masyarakat untuk membuatnya lebih manusiawi, simpatik terhadap pluralisme kultural, keadilan moral, dan persamaan. Oleh karena itu tujuan multikultural untuk mencapai persamaan dan keunggulan pendidikan mencakup kognitif, afektif dan ketrampilan perilaku, di samping prinsip demokrasi (Banks, 1993).
7.       Memperkuat Pribadi untuk Reformasi Sosial
Tujuan terakhir dari Pendidikan multikultural adalah memulai proses perubahan di sekolah yang pada akhirnya akan meluas ke masyarakat. Tujuan ini akan melengkapi penanaman sikap, nilai, kebiasaan dan ketrampilan siswa sehingga mereka menjadi agen perubahan sosial (social change agents) yang memiliki komitmen yang tinggi dengan reformasi masyarakat untuk memberantas perbedaan (disparities) etnis dan rasial dalam kesempatan dan kemauan untuk bertindak berdasarkan komitmen ini. Untuk melakukan itu, mereka perlu memperbaiki pengetahuan mereka tentang isu etnis di samping mengembangkan kemampuan pengambilan keputusan, ketrampilan tindakan sosial, kemampuan kepemimpinan, dan komitmen moral atas harkat dan persamaan. Mereka tidak hanya perlu memahami dan mengapresiasi mengapa pluralisme etnis dan budaya itu ada, namun juga bagaimana menterjemahkan pengetahuan kepada keputusan dan tindakan yang berhubungan dengan isu, peristiwa dan situasi sosiopolitis yang esensial.
Tujuan dan pengembangan ketrampilan ini didesain untuk membuat masyarakat lebih benar-benar egaliter dan lebih menerima pluralisme kultural. Juga dimaksudkan untuk menjamin bahwa kelompok etnis dan budaya yang secara tradisional menjadi korban dan terasingkan akan lebih berpartisipasi secara penuh pada semua level masyarakat, dengan semua hak, dan tanggung jawab yang menyertainya. Pendidikan Multikultural berkontribusi secara langsung terhadap warga negara yang demokratis di dalam global village (Swiniarski, 1999). Fungsi multikulturalisme ini adalah apa yang dimaksudkan Banks dengan pendekatan aksisosial dari Pendidikan Multikultural, yang mengajari siswa bagaimana menjadi kritikus sosial (social critics), aktivis politik (political activists), agen perubahan (change agents), dan pemimpin yang berkompeten dalam masyarakat dan yang berbeda secara etnis dan pluralistik secara kultural. Juga sama dengan konsep Grant tentang Pendidikan multikultural untuk rekonstruksi sosial. Pendekatan ini berfokus pada penindasan dan ketidak samaan struktur sosial, dengan perhatian menciptakan suatu masyarakat yang lebih mampu dan melayani kebutuhan dan kepentingan semua kelompok orang. Pendekatan ini membangun penguatan pribadi dengan menetapkan relevansi antara pelajaran sekolah dengan kehidupan sosial, dengan memberi latihan menerapkan pengetahuan dan pengambilan tindakan langsung dengan kehidupannya sendiri, dan mendemonstrasikan kekuatan pengetahuan, upaya kolaboratif, dan aksi politis dalam mempengaruhi perubahan sosial. Pendidikan Multikultural akan membantu siswa dari berbagai kelompok budaya yang berbeda dalam memperoleh ketrampilan akademik yang dibutuhkan untuk fungsinya di dalam masyarakat yang berpengetahuan (a knowledge society). Pendidikan Multikultural merupakan pendidikan untuk hidup (an education for life) dalam masyarakat yang ber-Pancasila. Membantu siswa melampaui batas-batas budayanya dan memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk keterlibatannya di dalam wacana publik dengan orang yang berbeda dengan dirinya. Pendidikan Multikultural juga membantu siswa mempelajari ketrampilan yang dibutuhkan untuk berpartisipasi di dalam tindakan kewarganegaraan (a civic action), yang merupakan bagian integral dari negara yang berlandaskan Pancasila. Pendidikan Multikultural bukan hanya didasarkan pada tradisi demokratis negara, namun memiliki fungsi esensial bagi daya tahan dari suatu tradisi demokratis, pluralistis di abad mendatang (for the survival of a democratic, pluralistic traditions in next century).
8.      Memiliki wawasan kebangsaan/kenegaraan yang kokoh
Dengan mengetahui kekayaan budaya bangsa itu akan tumbuh rasa kebangsaan yang kuat. Rasa kebangsaan itu akan tumbuh dan berkembang dalam wadah negara Indonesia yang kokoh. Untuk itu Pendidikan Multikultural perlu menambahkan materi, program dan pembelajaran yang memperkuat rasa kebangsaan dan kenegaraan dengan menghilangkan etnosentrisme, prasangka, diskriminasi dan stereotipe.
9.      Memiliki wawasan hidup yang lintas budaya dan lintas bangsa sebagai warga dunia.
Hal ini berarti individu dituntut memiliki wawasan sebagai warga dunia (world citizen). Namun siswa harus tetap dikenalkan dengan budaya lokal, harus diajak berpikir tentang apa yang ada di sekitar lokalnya. Mahasiswa diajak berpikir secara internasional dengan mengajak mereka untuk tetap peduli dengan situasi yang ada di sekitarnya – act locally and globally.
10.   Hidup berdampingan secara damai.
Dengan melihat perbedaan sebagai sebuah keniscayaan, dengan menjunjung tinggi nilai kemanusian, dengan menghargai persamaan akan tumbuh sikap toleran terhadap kelompok lain dan pada gilirannya dapat hidup berdampingan secara damai.
J.           Fungsi Pendidikan Multikultural
The National Council for Social Studies (Gorski, 2001) mengajukan sejumlah fungsi yang menunjukkan pentingnya keberadaan dari Pendidikan Multikultural. Fungsi tersebut adalah :
1.        memberi konsep diri yang jelas.
2.        membantu memahami pengalaman kelompok etnis dan budaya ditinjau dari sejarahnya.
3.        membantu memahami bahwa konflik antara ideal dan realitas itu memang ada pada setiap masyarakat.
4.        membantu mengembangkan pembuatan keputusan (decision making), partisipasi sosial dan ketrampilan kewarganegaraan (citizenship skills).
5.        mengenal keberagaman dalam penggunaan bahasa
Pendidikan Multikultural memberi tekanan bahwa sekolah pada dasarnya berfungsi mendasari perubahan masyarakat dan meniadakan penindasan dan ketidak adilan. Fungsi pendidikan multikultural yang mendasar adalah mempengaruhi perubahan sosial. Jalan di atas dapat dirinci menjadi tiga butir perubahan :
1.        perubahan diri
2.        perubahan sekolah dan persekolahan
3.        perubahan masyarakat
Perubahan diri dimaknai sebagai perubahan dimulai dari diri siswa sendiri itu sendiri yang lebih menghargai orang lain agar dia bisa hidup damai dengan sekelilingnya. Kemudian diwujudkan dalam tata tutur dan tata perlakunya di lingkungan sekolah dan berlanjut hingga di masyarakat. Karena sekolah merupakan agen perubahan, maka diharapkan ada perubahan yang terjadi di masyarakat seiring dengan terjadi perubahan yang terdapat dalam lingkungan persekolahan. (Gorski, 2001).




                                   





Tidak ada komentar:

Posting Komentar