BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan sektor sangat menentukan kualitas suatu
bangsa. Kegagalan pendidikan berimplikasi pada gagalnya suatu bangsa,
keberhasilan pendidikan juga secara otomatis membawa keberhasilan sebuah
bangsa. Pada dunia pendidikan, hendaknya memperhatikan unsur pendidikan, yang
diantaranya: peserta didik, pendidik, software, manajemen, sarana dan
prasarana dan stake holder. Aset yang diperlukan dalam pendidikan adalah
sumber daya manusia yang bekualitas. Sumber daya yang berkualitas dapat berupa
dari siswa, masyarakat, maupun dari pendidik.
Pelaksanaan suatu pendidikan mempunyai fungsi, antara lain:
inisiasi, inovasi, dan konservasi. Inisiasi merupakan fungsi pendidikan untuk
memulai suatu perubahan. Inovasi merupakan wahana untuk mencapai perubahan.
Konservasi berfungsi untuk menjaga nilai-nilai dasar. Oleh sebab itu, untuk
memperbaiki kehidupan suatu bangsa, harus dimulai penataan dari segala aspek
dalam pendidikan.
Tujuan
dari pendidikan yang diharapkan adalah menciptakan out come pendidikan yang berkualitas sesuai dengan harapan dari
berbagai pihak. Dalam hal ini, pendidikan mempunyai peranan yang sangat
penting. Manajemen yang bagus (good management) dalam dunia pendidikan
di Indonesia sangat diharapkan oleh seluruh warga Indonesia. Manajemen
pendidikan yang bagus dapat diciptakan dan dapat dilaksanakan oleh manajer
pendidikan yang berkualitas. Manajer dalam dunia pendidikan salah satunya
adalah guru. Tugas guru selain mengajar, juga menjadi seorang manajer pendidikan.
Seorang guru harus dapat merencanakan manajemen yang baik.
Saat ini dunia pendidikan nasional Indonesia berada dalam
situasi “kritis” baik dilihat dari sudut internal kepentingan pembangunan
bangsa, maupun secara eksternal dalam kaitan dengan kompetisi antar bangsa.
Fakta menunjukkan bahwa, kualitas pendidikan nasional masih rendah dan jauh
ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain. Berbagai kritikan tajam
yang berasal dari berbagai sudut pandang terus ditujukan kepada dunia pendidikan
nasional dengan berbagai alasan dan kepentingan. Bahkan ada beberapa
pihak yang menuding bahwa krisis Nasional sekarang ini bersumber dari
pendidikan dan lebih jauh ditudingkan sebagai kesalahan guru.
Sehubungan dengan itu bahasan berikut akan menyampaikan
hal-hal yang berkaitan dengan meneropong tantangan pendidikan global, beberapa
tantangan dan solusi masa depan pendidikan, serta upaya membangun
pendidikan guru yang ideal. Bahasannya baru merupakan pikiran awal yang masih
harus dikaji dan dikembangkan lebih lanjut berdasarkan kajian sumber-sumber
empiris dari berbagai penelitian dan pengalaman nyata baik dalam maupun luar
negeri. Dalam ketidak sempurnaan ini ibarat setitik air di tengah samudra luas
namun semoga memberi manfaat dan sumbangsih bagi kaum guru dan dunia pendidikan
pada umumnya.
BAB II
MENEROPONG TANTANGAN PENDIDIKAN GLOBAL
Dunia yang semakin mengglobal sekarang ini, bergerak dan
berubah semakin cepat dan kompetitif. Semua bidang mengalami pergeseran dan
tantangan, termasuk lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan menghadapi tantangan
serius untuk mampu mengikuti sekaligus berada digarda depan perubahan global
tersebut. Kalau tidak mampu menjawabnya, maka lembaga pendidikan tidak akan
berwibawa di hadapan roda dinamika zaman yang berjalan dengan cepat. Bahkan,
lembaga pendidikan akan dianggap tidak mampu mengantisipasi realitas kekinian
yang terjadi.
Dengan demikian, pendidikan harus memberikan hal-hal yang
terkait dengan pertumbuhan, perubahan, pembaharuan, dan juga hal-hal yang terus
berlangsung. Karena hidup terus berlangsung, maka menangani pendidikan
sebetulnya sama dengan menangani masa depan, me-manage masa depan. Oleh
karena itu, pendidikan harus terus menerus diperbaharui, dipertegas, dan
dipertajam.
Menjemput masa depan yang cerah membutuhkan sebuah proses
yang cukup serius. Di situlah peran seorang pendidik untuk mengondisikan
peserta didik, baik di tengah keluarga, masyarakat, ataupun secara formal
sekolah. Sehingga, sekarang orang pun tidak terlalu memilah-milah antara
pendidikan disekolah dan pendidikan di rumah yang merupakan terminology
pendidikan klasik yang formal. Oleh karena itu, pendidikan tidak akan pernah
berakhir. Long life education.
Sayang, di tengah pusaran perubahan dahsyat sekarang ini,
tantangan pendidikan semakin kompleks. Setiap insan pendidikan dituntut untuk
merumuskan tantangan tersebut dan menjawabnya dengan ide-ide segar yang solutif
dan aplikatif. Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed memotret tentang tantangan lembaga
pendidikan dalam dua kategori, yaitu tantangan eksternal dan internal.
A.
Tantangan eksternal
Tantangan
eksternal yang dirasakan dunia pendidikan saat ini antara lain:
1.
Globalisasi
Globalisasi sering diterjemahkan dengan istilah mendunia.
Suatu entitas, betapa pun kecilnya, disampaikan oleh siapa pun, di mana pun dan
kapan pun, akan dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok dunia, baik berupa
ide, gagasan, data, informasi, produksi, pembangunan, sabotase, dan sebagainya;
begitu disampaikan, saat ini pula diketahui oleh semua orang di seluruh dunia.
Globalisasi, selain menghadirkan peluang positif, juga dapat
menghadirkan peluang negatif, yaitu menimbulkan keresahan, penderitaan, dan
penyesatan.
2.
Kompleksitas
Kompleksitas
mengesankan bahwa sesuatu terjadi secara serentak, sekaligus, dalam waktu yang
sama, dan semrawut. Saat ini, semua pihak, terutama para pesaing, pemimpin
perusahan, supplier, distributor, ilmuwan, dan pemimpin, berada dan
berlomba dalam perubahan yang terus menerus.
3.
Turbulence
Turbulence adalah suatu daya atau kekuatan yang dahsyat bagaikan
membangunkan harimau tidur di tengah-tengah system kehidupan yang berjalan
rutin, normal dan damai. Turbulence berasal dari istilah yang
menggambarkan kekuatan dahsyat dari tengah mesin seperti “mesin turbo” untuk
menggambarkan menggambarkan kekuatan mobil yang berkemampuan tinggi. Hasil dari
Turbulence adalah daya ledak atau daya ubah yang luar biasa,
memporak-porandakan system peluang emas bagi para pelaku system.
Masalahnya, system pendidikan yang bagaimanakah yang mampu
mengantar anak didik untuk tidak mudah “terkejut”, “terheran-heran”, dan mudah
“collapse” atau jatuh, dan putus asa, tetapi mampu bangkit kembali
dengan lebih segar, penuh semangat dan percaya diri?
4.
Dinamika
Inti pengertian dinamika adalah perubahan. Suka atau tidak
suka, kita harus menyambut perubahan. Paradigma baru dalam memandang dinamika
adalah makin dinamis sesuatu, ia makin stabil, dan stabilitas yang makin kokoh
akan semakin menjamin dinamika tinggi pula bagaikan “gangsing” yang berputar
cepat, makin cepat perputaran, makin stabil keseimbangannya. Sebaliknya, makin
lambat perputaran atau gerakannya, makin tidak stabil dan akhirnya jatuh.
Tetapi masalahnya adalah gerakan dinamika yang semakin tinggi juga membuka
peluang benturan antara berbagai komponen atau mata rantai elemen yang menjadi
unsur-unsur dari system yang bersangkutan, dan terbuka peluang catastrophes
(kecelakaan atau kegagalan).
5.
Akselerasi
Akselerasi adalah gerak naik atau gerak maju yang dalam era
informasi hal itu adalah perubahan, dengan kata-kata kunci akselerasi cepat dan
meningkat; di dalam dunia bisnis, faktor kunci yang menentukan sukses adalah
kompetisi. Dari sudut pandang ini, mampukah sistem pendidikan membawa anak
didik menyadari pentingnya waktu dan manfaatnya?
6.
Keberlanjutan dari Kuno Menuju
modern
Ada suatu kenyataan bahwa yang modern tidak begitu saja
lahir dan mengada atau exist tanpa yang tradisional. Sebaiknya, yang
tradisional hanya akan menjadi dongeng masa lalu tanpa diinjeksi dengan temuan,
nilai, pemikiran, semangat, dan harapan baru. Dalam zaman modern ini, orang
dituntut untuk tetap melestarikan nilai-nilai lama, yang luhur yang bermoral
dan seterusnya, sekalipun dari dimensi teknokratiknya terdapat hal-hal tertentu
yang harus sudah ditinggalkan karena sudah tidak cocok lagi dengan masalah yang
dihadapi dengan tetap bersumber pada nilai-nilai luhur (moral) dari ajaran
agama dan nilai kemanusiaan yang terus berkembang dalam budaya dan pandangan
hidup bangsa.
7.
Konektivitas
Dalam zaman modern ini, tidak ada satu entitas yang mampu
berdiri sendiri. Semuanya terkoneksi antara satu dengan yang lain dalam suatu
jaringan kerja. Koneksitas bukan hanya sekedar jaringan kerja computer dan
jaringan global, melainkan suatu fenomena di mana suatu entitas dari suatu
kemajuan teknologi dapat masuk ke dalam suatu jaringan kerja global. Saat ini,
kita sulit mengisolasi diri tetap dalam kehidupan alami tanpa terkontaminasi
oleh kehidupan modern yang penuh dengan rekayasa dan barang pengawet.
8.
Konvergensi
Konvergensi muncul bila dua system yang berbeda bergerak
menuju satu titik temu atau suatu pola tanpa meleburkan diri ke dalam satu
system. Namun, berkat teknologi yang semakin canggih dapat diperoleh model baru
yang lebih efektif, produktif, efisien, murah, dan dengan kualitas yang lebih
baik. Dalam era informasi global, terjadi konvergensi yang membawa benturan
ide, tradisi, system, dan sebagainya. Dari silang pendapat ini kemudian
terdapat nilai-nilai baru yang secara universal dapat diterima oleh semua pihak,
disamping tetap menyisakan nilai-nilai lama yang berbeda.
Dengan demikian, core konvergensi dalam abad ke-21
adalah lahirnya entitas baru yang merupakan tuntutan global, yang menyebar
dengan lebih cepat, murah, tepat/benar, praktis, dapat diterima secara
universal, serta memiliki keguanaan berkali lipat, tanpa meleburkan diri ke
dalam sistem-sistem yang baru.
9.
Konsolidasi
Di era global, terdapat kecenderungan dari berbagai
subsistem yang tadinya independen kemudian mengadakan konsolidasi ke dalam kesatuan
unit atau blok yang lebih besar sekaligus dengan strategi baru untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik. Kebutuhan untuk melakukan konsolidasi tidak
terbatas pada bidang bisnis saja, tetapi juga pada semua bidang, termasuk
bidang agama.
10.
Rasionalisasi
Semua system dalam era globalisasi cenderung berpikir ulang
dan mengevaluasi kembali alat-alat dan strateginya agar lebih efektif, efisien,
dan produktif dalam mencapai tujuannya. Sering kali hal itu dilakukan dengan
men-setting ulang atau merumuskan kembali tujuan yang ingin dicapai atau
meredefinisikan visi, misi, orientasasi, tujuan, strategi, alat, SDM-nya, dan
sebagainya; demi tercapainya cita-cita yang dituju.
11.
Paradoks Global
Paradoks global benar-benar telah membudaya dalam tata kehidupan
modern di abad ke-21. Paradoks merupakan suatu perumusan atau pernyataan yang absurd,
membingungkan karena tampak bertentangan. Sebab, di dalamnya berisi dua entitas
yang saling bertentangan satu sama lain, tetapi dikemas dalam satu perumusan
atau satu pernyataan. Meski demikian, paradoks tetap dibenarkan, misalnya “
lebih sedikit adalah lebih banyak”. Pernyataan tersebut berasal dari bidang
arsitektur yang maksudnya adalah makin sedikit anda mengacaukan suatu gedung
dengan hiasan, makin anggun gedung dimaksud.
Paradoks
merupakan keniscayaan yang tidak terhindarkan dalam kehidupan. Tetapi, paradoks
dalam kehidupan modern terasa lebih menggugah dan mendorong untuk berpikir
lebih tajam dan cerdik.
12.
Kekuatan Pikiran
Sejarah mencatat, orang berilmu selalu mendapatkan kedudukan
social yang lebih tinggi dan penting. Makin tinggi ilmu yang disandangnya,
makin tinggi dan penting kedudukan sosialnya. Sebaliknya, jika makin maju dan
modern suatu masyarakat, maka makin memberikan peluang bagi warganya untuk
meraih ilmu dan kedudukan yang lebih tinggi. Kekuatan dan kemampuan ilmu dapat
lebih cepat dan lebih dahsyat dari pada perkembangan pemikiran penciptanya.
Sering kali manusia yang menciptakannya terkejut dan terjeran-heran menyaksikan
dampak atau implikasi dan temuannya. Denis Waetley, dalam Jamal Ma’mur Asmani
mengatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan.
B.
Tantangan Internal
Selain tantangan eksternal, tantangan internal pendidikan
Indonesia adalah kebijakan pemerintah yang masih belum progresif, baik Orde
Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
Pertama,
Orde Lama (1945-1965). System Pendidikan Nasional diselenggarakan berdasarkan
Undang-undang No. 4 Tahun 1950 dan dengan UU No. 12 Tahun 1945 yang menyatakan
berlakunya UU No. 4 Tahun 1950 di seluruh Republik Indonesia, selanjutnya
dilengkapi dengan persetujuan parlemen, dan beberapa Kepres yang mengiringinya
untuk kebijaksanaan-kebijaksanaan yang levelnya instrumental dan operasional.
Misalnya, inpres No. 8 Tahun 1955 tentang pedoman belajar di luar negeri, UU
No. 8 Tahun 1990 tentang Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), PP No. 38
Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan dan sebagainya.
Kedua, Orde
Baru, dari 1965-1998, System Pendidikan Nasional diselenggarakan berdasarkan UU
no. 2 Tahun 1989, dan diikuti dengan perraturan-peraturan pemerintah
pelaksanaannya seperti PP No. 27 tahun 1990 tentang pendidikan pra sekolah, dan
PP No. 28, 29, dan 60 Tahun 1990 bertutur tentang pendidikan Pendidikan Dasar
Menengah, dan Pendidikan Tinggi, dan sebagainya.
Seiring keadaan tersebut, UU No. 2 tahun 1989 yang merupakan
produk Orde Baru, juga semakin terasa ketidaksesuaiannya dengan tuntutan
global. Dalam pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1989 sangat terasa:
Ø Setralisasi.
Kerja pendidikan diatur secara memusat, dari pusat sampai ke pelosok-pelosok
daerah yang sangat terpencil, meliputi kurikulum, metode ajar, tenaga
kependidikan, penilaian, ijazah, otoritas penyelenggaraaannya, dana sarana, dan
sebagainya.
Ø Tidak
demokratis. Adanya sekolah-sekolah negeri dan swasta yang berbeda secara
diskriminatif, meliputi dana, sarana, otoritas, dan pengakuan terhadap
ijazahnya. Baik buruknya sekolah swasta diakui dan ditentukan oleh pemerintah,
bukan oleh pasar dan pengguna jasa pendidikan, dan sebagainya.
Ø Penyelenggaraan
lembaga-lembaga pendidikan dilaksanakan di bawah otoritas kekuasaan, lengkap
dengan otoritas administrasi berakurasi pemerintahan. Padahal, pendidikan
adalah kerja akademik dan bukan kerja perkantoran pemerintahan. Tidak berbeda
antara menyelenggarakan kantor camat atau kelurahan dengan menyelenggarakan
sekolah atau perguruan. Hal ini berlaku untuk semua jenis dan jenjang
pendidikan. Misalnya, penyelenggarakan perguruan tinggi (PT).
Ketiga, Orde
Reformasi, dari 1997 sehingga sekarang. Bersamaan dengan terbongkarnya
kepalsuan rezim Orde Baru, orde Reformasi mengalami keguncangan politik yang
amat hebat. Hal itu disebabkan oleh “kran demokrasi” yang dibuka terlalu lebar.
Tampaknya pemimpin dan rakyat masih sama-sama belajar berdemokrasi. Barang
kali, mereka tidak menyadari bahwa demokrasi tidak identik dengan kebebasan
tanpa rambu-rambu. Ingat, demokrasi tidak akan bermakna tanpa tegaknya sistem
dan hukum serta tingginya profesionalitas. System Pendidikan Nasional masih
diatur berdasarkan UU No. 2 Tahun 1989, yang semua pihak menilainya bahwa UU
ini sudah harus diganti dengan yang baru sesuai dengan tantangan global. Maka
munculnya UU No 20 Tahun 2003 dengan tujuan untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha
esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.
Disinilah
fungsi strategis lembaga pendidikan untuk merevitalisasi fungsinya dalam
membangkitkan potensi bangsa ke depan, mencetak kader-kader masa depan andal
yang dibutuhkan di era kompetisi terbuka, dan mengantisipasi segala tantangan
dengan langkah-langkah progresif dan produktif sehingga dihormati bangsa-bangsa
lain di dunia.
Potret pendidikan di atas, baik internal maupun eksternal,
adalah tantangan serius bagi insan pendidikan untuk mengubahnya menjadi peluang
berprestasi. Orang yang sukses adalah yang mampu mengubah tantangan menjadi
peluang meraih sukses. Oleh karena itu, semua insan pendidikan seyogianya
memandang tantangan pendidikan di atas sebagai starting point melakukan
langkah-langkah dinamis dan progresif dalam mengembangkan diri seoptimal
mungkin untuk mengejar ketertinggalan dan kemunduran. Jangan berlaku putus asa,
patah semangat, dan mundur teratur, sekali kita mundur, maka kondisi pendidikan
di negeri ini semakain amburadul dan bangsa ini semakin tertindas.
BAB III
BEBERAPA TANTANGAN MASA DEPAN PENDIDIKAN
A.
Tantangan yang Berhubungan dengan
Sistem Pendidikan.
Kenyataan membuktikan bahwa hingga dewasa ini dalam artian
proses kegiatan pembelajaran sebagaian besar orintasinya masih bermuara pada
aspek kognitif. Hal ini dipengaruhi oleh faktor umumnya yaitu yang menjadi
dasar dalam penentuan kelulusan seorang siswa adalah dapat memperoleh nilai minimal
sesuai kriteria kelulusan yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah dalam
kenaikan kelas dan atau oleh BSNP dalam kelulusan seorang siswa. Faktor inilah
yang memaksa seluruh komponen sekolah terutama guru dalam merekayasa berbagai
strategi agar seluruh kriteria kelulusan tersebut dapat dicapai oleh seorang
siswa. Dan aspek ini pula yang mendorong guru dalam melaksanakan tugasnya tidak
lagi menjadi seorang pendidik yang baik tetapi hanya menjadi seorang pengajar
yang baik.
Faktor lain yang menjadi penyebab aspek kognitif sebagai
target utama dalam proses pendidikan adalah bahwa kenyataan membuktikan
bahwa yang menjadi ukuran dari sebuah supervisi baik oleh pihak
kepala sekolah, pengawas pendidikan, dinas pendidikan bahkan sampai pada
inspektorat di tingkat kementrian pada proses pendidikan di sekolah adalah
kesesuaian antara apa yang di rencanakan secara tertulis oleh guru atau kepala
sekolah dengan kenyataan yang ada di lapangan. Bagi seorang guru pada saat
supervisi materi yang diajarakan di kelas pada saat supervisi harus sesuai
dengan apa yang telah di susun dalam silabus, program tahunan, program
semester, dan bahkan harus sesuai dengan apa yang di tulis dalam SAP atau RPP.
Kasus-kasus seperti inilah yang menyebabkan hingga kini sesungguhnya pendidikan
nasional kita tidak bisa memberikan proses kearah tujuan pendidikan nasional.
B.
Tantangan Pendidikan Yang
berhubungan dengan Tenaga Kependidikan
Hingga saat ini masih banyak masalah dan kendala yang
berkaitan dengan guru sebagai satu kenyataan yang harus diatasi dengan segera.
Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah banyak dilakukan antara lain
melalui perbaikan sarana, peraturan, kurikulum, dsb. tapi belum mempriotitaskan
guru sebagai pelaksana di tingkat instruksional terutama dari aspek kesejahteraannya.
Beberapa masalah dan kendala yang berkaitan dengan kondisi guru antara lain
sebagai berikut:
a.
Kuantitas, kualitas, dan
distribusi.
Dari aspek kuantitas, jumlah guru yang ada masih dirasakan
belum cukup untuk menghadapi pertambahan siswa serta tuntutan pembangunan
sekarang. Kekurangan guru di berbagai jenis dan jenjang khususnya di sekolah
dasar, merupakan masalah besar terutama di daerah pedesaan dan daerah
terpencil. Dari aspek kualitas, sebagian besar guru-guru dewasa ini masih belum
memiliki pendidikan minimal yang dituntut.
b.
Kesejahteraan.
Dari segi keadilan kesejahteraan guru, masih ada beberapa
kesenjangan yang dirasakan sebagai perlakuan diskriminatif para guru. Di
antaranya adalah: (1) kesenjangan antara guru dengan PNS lainnya, serta dengan
para birokratnya, (2) kesenjangan antara guru dengan dosen, (3) kesenjangan
guru menurut jenjang dan jenis pendidikan, misalnya antara guru SD dengan guru
SLTP dan Sekolah Menengah, (4) kesenjangan antara guru pegawai negeri yang digaji
oleh negara, dengan guru swasta yang digaji oleh pihak swasta, (5) kesenjangan
antara guru pegawai tetap dengan guru tidak tetap atau honorer, (6) kesenjangan
antara guru yang bertugas di kota-kota dengan guru-guru yang berada di pedesaan
atau daerah terpencil, (7) kesenjangan karena beban tugas, yaitu ada guru yang
beban mengajarnya ringan tetapi di lain pihak ada yang beban tugasnya banyak
(misalnya di sekolah yang kekurangan guru) akan tetapi imbalannya sama saja
atau lebih sedikit.
c.
Manajemen guru
Dari sudut pandang manajemen SDM guru, guru masih berada
dalam pengelolaan yang lebih bersifat birokratis-administratif yang kurang
berlandaskan paradigma pendidikan (antara lain manajemen pemerintahan,
kekuasaan, politik, dsb.). Dari aspek unsur dan prosesnya, masih dirasakan
terdapat kekurang-terpaduan antara sistem pendidikan, rekrutmen, pengangkatan,
penempatan, supervisi, dan pembinaan guru. Masih dirasakan belum terdapat
keseimbangan dan kesinambungan antara kebutuhan dan pengadaan guru. Rerkrutmen
dan pengangkatan guru masih selalu diliputi berbagai masalah dan kendala
terutama dilihat dari aspek kebutuhan kuantitas, kualitas, dan distribusi.
Pembinaan dan supervisi dalam jabatan guru belum mendukung terwujudnya
pengembangan pribadi dan profesi guru secara proporsional. Mobilitas mutasi
guru baik vertikal maupun horisontal masih terbentur pada berbagai peraturan
yang terlalu birokratis dan “arogansi dan egoisme” sektoral. Pelaksanaan
otonomi daerah yang “kebablasan” cenderung membuat manajemen guru menjadi makin
semrawut.
d.
Penghargaan terhadap guru
Seperti telah dikemukakan di atas, hingga saat ini guru
belum memperoleh penghargaan yang memadai. Selama ini pemerintah telah berupaya
memberikan penghargaan kepada guru dalam bentuk pemilihan guru teladan, lomba
kreatiivitas guru, guru berprestasi, dsb. meskipun belum memberikan motivasi
bagi para guru. Sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” lebih banyak dipersepsi
sebagai pelecehan ketimbang penghargaan. Pemberian penghargaan terhadap guru
harus bersifat adil, terbuka, non-diskriminatif, dan demokratis dengan
melibatkan semua unsur yang terkait dengan pendidikan terutama para pengguna
jasa guru itu sendiri, sementara pemerintah lebih banyak berperan sebagai
fasilitator.
e.
Pendidikan guru
Sistem pendidikan guru baik pra-jabatan maupun dalam jabatan
masih belum memberikan jaminan dihasilkannya guru yang berkewenangan dan
bermutu disamping belum terkait dengan sistem lainnya. Pola pendidikan guru
hingga saat ini masih terlalu menekankan pada sisi akademik dan kurang
memperhatikan pengembangan kepribadian disamping kurangnya keterkaitan dengan
tuntutan perkembangan lingkungan. Pendidikan guru yang ada sekarang ini masih
bertopang pada paradigma guru sebagai penyampai pengetahuan sehingga diasumsikan
bahwa guru yang baik adalah yang menguasai pengetahuan dan cakap
menyampaikannya
f.
Karir tak berjenjang
Banyak profesi bergengsi seperti di bidang hukum,
kedokteran, sains, rekayasa, dsb. menetapkan secara jelas transisi dari sejak
mahasiswa lulus ke jabatan profesional. Untuk dapat melaksanakan tugas
profesionalnya dilakukan secara berjenjang melalui seleksi yang cukup ketat
dengan kriteria yang jelas. Ketika memulai bertugas pada tahap awal dimulai
dengan magang kepada yang lebih seniror dan terus secara berhjenjang sampai
pada posisin tertinggi. Dalam jabatan guru hal itu tidak terjadi secara jelas
dan terprogram. Begitu lulus dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
langsung terjun ke dunianya laksana anak itik yang langsung berenang. Dan seterusnya
sejak mulai sampai akhir masa jabatan tidak pernah terjadi seleksi karir yang
berjenjang. Dengan begitu guru pemula sama saja dengan guru yang sudah puluhan
tahun bekerja, yang membedakannya hanyalah gaji yang diterima dan pangkat yang
semakin tinggi.
Memang ada ketentuan penjenjangan jabatan guru mulai dari
guru pratama sampai ke guru utama dengan kriteria perolehan angka kredit. Namun
dalam pelaksanaannya lebih banyak berupa ketentuan administratif ketimbang
penjenjangan profesional. Di Perguruan Tinggi para dosen cukup jelas ketentuan
aturan penjenjangan dan pelaksanaannya. Misalnya seorang asisten ahli tidak
diberi wewenang untuk mengajar secara mandiri dan membimbing skripsi.
BAB
VI
P
E N U T U P
Bahwa sekolah merupakan suatu sistem yang di dalamnya
memiliki komponen-komponen yang saling terkait dan sangat kompleks
serta mncakup unsur input-proses-output dan juga memiliki
akuntabilitas terhadap konteks pendidikan dan outcom pendidikan. Oleh karena
itu seorang manajemen pendidikan harus berlaku sebagai agent of change yang
selalu berupaya untuk menciptakan difusi inovasi bagi seluruh unsur imput agar
mendorong proses dalam sistem sekolah sehingga proses dapat berjalan secara
baik untuk mencapai output dan outcome pendidikan yang berkualitas yang
memiliki derjata kesehatan, keamanan, disiplin, keakraban, saling menghormati,
dan kepuasan pada setiap unsur imput dalam memberi dan menerima jasa layanan.
Dalam konsep manajemen pendidikan maka kepala sekolah
memiliki peran yang cukup penting untuk menciptakan suasana sekolah yang lebih
kondusif, sehat dan dinamis sehingga tercipta difusi inovasi bagi seluruh
unsur imput. Kepala sekolah harus menjadi agen perubahan bagi sebuah dinamika
yang lebih kondusif dalam menata serta memberdayakan manusianya, uang,
maetrials, methods dan machines sebagai unsur imput secara efektif dan efisien
untuk mencapai tujuan sekolah itu sendiri.
Sekolah yang baik adalah sekolah yang mampu menghasilkan
kelulusan yang bukan hanya memiliki nalar yang tinggi dengan memperoleh nilai
kelulusan yang didapat melalui ujian-ujian akhir atau mampu memasuki suatu
tingkat sekolah yang lebih tinggi dengan standar sekolah lebih baik di setiap
daerah. Akan tetapi sekolah yang baik adalah sekolah yang mampu menjadikan
siswanya sebagai investasi dalam pertumbuhan kekuatan yang ada dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam konteks ini ukuran sekolah yang baik dapat dilihat dari
bagaiman sekolah itu mampu menempatkan seluruh komponen sekolahnya dalam
kehidupan bermasyarakat, sehingga masyarakatpun merasa nyaman dengan keberadaan
sebuah sekolah tersebut.
Pada akhirnya sebuah proses yang baik dalam mengelola sistem
sekolah yang lebih efektif, produktif, efisien dan inovatif akan
mendorong munculnya sebauh konsep pengelolaan sekolah yang lebih sehat dan
dinamis. Dengan demikian maka seluruh aspek Yang terlibat dalam proses sistem
sekolah akan bekerja secara ikhlas, jujur dan penuh dengan pengabdian
mengharapkan Ridho Allah SWT. maka kemiskinan, kebodohan dan keterbelakang,
lingkaran setan dapat kita putuskan. Dan tentu akan dapat melahirkan sebuah
model sekolah yang murah dan dapat dinikmati seluruh anak-anak bangsa yang
memiliki ketidak mampuan dalam menikmati sekolah berfasilitas lengkap dan biaya
mahal. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk semua phak terutama bagi
penulis sendiri dalam mengembangkan model sekolah seperti yang dimaksudkan
diatas yaitu sekolah murah dan efektif serta dapat dijangkau oleh peserta
didik yang tidak mampu.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Asmani,
Ma’mur Jamal, Manajemen pengelola Kepemimpinan Pendidikan Profesional, DIVA
Pres, Yogyakarta, Cet. I, Juni 2009.
Danim,
Sudarwan, Prof. Dr, Visi Baru Manajemen Sekolah Dari unit Birokrasi ke
lembaga akademik, Bumi Aksara, Jakarta, Cet. 3, Juli 2008.
Hamdan,
H, Drs. M.Pd.I, Paradigma Baru Pendidikan Muhammadiyah, Ar-Ruzzmedia,
Jakarta, Cet. I, Januari 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar