Rabu, 17 April 2013

Tantangan Pendidikan Era Perubahan



BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan sektor sangat menentukan kualitas suatu bangsa. Kegagalan pendidikan berimplikasi pada gagalnya suatu bangsa, keberhasilan pendidikan juga secara otomatis membawa keberhasilan sebuah bangsa. Pada dunia pendidikan, hendaknya memperhatikan unsur pendidikan, yang diantaranya: peserta didik, pendidik, software, manajemen, sarana dan prasarana dan stake holder. Aset yang diperlukan dalam pendidikan adalah sumber daya manusia yang bekualitas. Sumber daya yang berkualitas dapat berupa dari siswa, masyarakat, maupun dari pendidik.
Pelaksanaan suatu pendidikan mempunyai fungsi, antara lain: inisiasi, inovasi, dan konservasi. Inisiasi merupakan fungsi pendidikan untuk memulai suatu perubahan. Inovasi merupakan wahana untuk mencapai perubahan. Konservasi berfungsi untuk menjaga nilai-nilai dasar. Oleh sebab itu, untuk memperbaiki kehidupan suatu bangsa, harus dimulai penataan dari segala aspek dalam pendidikan.
Tujuan dari pendidikan yang diharapkan adalah menciptakan out come pendidikan yang berkualitas sesuai dengan harapan dari berbagai pihak. Dalam hal ini, pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting. Manajemen yang bagus (good management) dalam dunia pendidikan di Indonesia sangat diharapkan oleh seluruh warga Indonesia. Manajemen pendidikan yang bagus dapat diciptakan dan dapat dilaksanakan oleh manajer pendidikan yang berkualitas. Manajer dalam dunia pendidikan salah satunya adalah guru. Tugas guru selain mengajar, juga menjadi seorang manajer pendidikan. Seorang guru harus dapat merencanakan manajemen yang baik.
Saat ini dunia pendidikan nasional Indonesia berada dalam situasi “kritis” baik dilihat dari sudut internal kepentingan pembangunan bangsa, maupun secara eksternal dalam kaitan dengan kompetisi antar bangsa. Fakta menunjukkan bahwa, kualitas pendidikan nasional masih rendah dan jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain. Berbagai kritikan tajam yang berasal dari berbagai sudut pandang terus ditujukan kepada dunia pendidikan nasional dengan berbagai alasan dan kepentingan.  Bahkan ada beberapa pihak yang menuding bahwa krisis Nasional sekarang ini bersumber dari pendidikan dan lebih jauh ditudingkan sebagai kesalahan guru.
Sehubungan dengan itu bahasan berikut akan menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan meneropong tantangan pendidikan global, beberapa tantangan dan solusi masa depan  pendidikan, serta upaya membangun pendidikan guru yang ideal. Bahasannya baru merupakan pikiran awal yang masih harus dikaji dan dikembangkan lebih lanjut berdasarkan kajian sumber-sumber empiris dari berbagai penelitian dan pengalaman nyata baik dalam maupun luar negeri. Dalam ketidak sempurnaan ini ibarat setitik air di tengah samudra luas namun semoga memberi manfaat dan sumbangsih bagi kaum guru dan dunia pendidikan pada umumnya.


BAB II
MENEROPONG TANTANGAN PENDIDIKAN GLOBAL

Dunia yang semakin mengglobal sekarang ini, bergerak dan berubah semakin cepat dan kompetitif. Semua bidang mengalami pergeseran dan tantangan, termasuk lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan menghadapi tantangan serius untuk mampu mengikuti sekaligus berada digarda depan perubahan global tersebut. Kalau tidak mampu menjawabnya, maka lembaga pendidikan tidak akan berwibawa di hadapan roda dinamika zaman yang berjalan dengan cepat. Bahkan, lembaga pendidikan akan dianggap tidak mampu mengantisipasi realitas kekinian yang terjadi.
Dengan demikian, pendidikan harus memberikan hal-hal yang terkait dengan pertumbuhan, perubahan, pembaharuan, dan juga hal-hal yang terus berlangsung. Karena hidup terus berlangsung, maka menangani pendidikan sebetulnya sama dengan menangani masa depan, me-manage masa depan. Oleh karena itu, pendidikan harus terus menerus diperbaharui, dipertegas, dan dipertajam.
Menjemput masa depan yang cerah membutuhkan sebuah proses yang cukup serius. Di situlah peran seorang pendidik untuk mengondisikan peserta didik, baik di tengah keluarga, masyarakat, ataupun secara formal sekolah. Sehingga, sekarang orang pun tidak terlalu memilah-milah antara pendidikan disekolah dan pendidikan di rumah yang merupakan terminology pendidikan klasik yang formal. Oleh karena itu, pendidikan tidak akan pernah berakhir. Long life education.
Sayang, di tengah pusaran perubahan dahsyat sekarang ini, tantangan pendidikan semakin kompleks. Setiap insan pendidikan dituntut untuk merumuskan tantangan tersebut dan menjawabnya dengan ide-ide segar yang solutif dan aplikatif. Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed memotret tentang tantangan lembaga pendidikan dalam dua kategori, yaitu tantangan eksternal dan internal.
A.    Tantangan eksternal
Tantangan eksternal yang dirasakan dunia pendidikan saat ini antara lain:
1.      Globalisasi
Globalisasi sering diterjemahkan dengan istilah mendunia. Suatu entitas, betapa pun kecilnya, disampaikan oleh siapa pun, di mana pun dan kapan pun, akan dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok dunia, baik berupa ide, gagasan, data, informasi, produksi, pembangunan, sabotase, dan sebagainya; begitu disampaikan, saat ini pula diketahui oleh semua orang di seluruh dunia.
Globalisasi, selain menghadirkan peluang positif, juga dapat menghadirkan peluang negatif, yaitu menimbulkan keresahan, penderitaan, dan penyesatan.
2.      Kompleksitas
Kompleksitas mengesankan bahwa sesuatu terjadi secara serentak, sekaligus, dalam waktu yang sama, dan semrawut. Saat ini, semua pihak, terutama para pesaing, pemimpin perusahan, supplier, distributor, ilmuwan, dan pemimpin, berada dan berlomba dalam perubahan yang terus menerus.
3.      Turbulence
Turbulence adalah suatu daya atau kekuatan yang dahsyat bagaikan membangunkan harimau tidur di tengah-tengah system kehidupan yang berjalan rutin, normal dan damai. Turbulence berasal dari istilah yang menggambarkan kekuatan dahsyat dari tengah mesin seperti “mesin turbo” untuk menggambarkan menggambarkan kekuatan mobil yang berkemampuan tinggi. Hasil dari Turbulence adalah daya ledak atau daya ubah yang luar biasa, memporak-porandakan system peluang emas bagi para pelaku system.
Masalahnya, system pendidikan yang bagaimanakah yang mampu mengantar anak didik untuk tidak mudah “terkejut”, “terheran-heran”, dan mudah “collapse” atau jatuh, dan putus asa, tetapi mampu bangkit kembali dengan lebih segar, penuh semangat dan percaya diri?
4.      Dinamika
Inti pengertian dinamika adalah perubahan. Suka atau tidak suka, kita harus menyambut perubahan. Paradigma baru dalam memandang dinamika adalah makin dinamis sesuatu, ia makin stabil, dan stabilitas yang makin kokoh akan semakin menjamin dinamika tinggi pula bagaikan “gangsing” yang berputar cepat, makin cepat perputaran, makin stabil keseimbangannya. Sebaliknya, makin lambat perputaran atau gerakannya, makin tidak stabil dan akhirnya jatuh. Tetapi masalahnya adalah gerakan dinamika yang semakin tinggi juga membuka peluang benturan antara berbagai komponen atau mata rantai elemen yang menjadi unsur-unsur dari system yang bersangkutan, dan terbuka peluang catastrophes (kecelakaan atau kegagalan).
5.      Akselerasi
Akselerasi adalah gerak naik atau gerak maju yang dalam era informasi hal itu adalah perubahan, dengan kata-kata kunci akselerasi cepat dan meningkat; di dalam dunia bisnis, faktor kunci yang menentukan sukses adalah kompetisi. Dari sudut pandang ini, mampukah sistem pendidikan membawa anak didik menyadari pentingnya waktu dan manfaatnya?
6.      Keberlanjutan dari Kuno Menuju modern
Ada suatu kenyataan bahwa yang modern tidak begitu saja lahir dan mengada atau exist tanpa yang tradisional. Sebaiknya, yang tradisional hanya akan menjadi dongeng masa lalu tanpa diinjeksi dengan temuan, nilai, pemikiran, semangat, dan harapan baru. Dalam zaman modern ini, orang dituntut untuk tetap melestarikan nilai-nilai lama, yang luhur yang bermoral dan seterusnya, sekalipun dari dimensi teknokratiknya terdapat hal-hal tertentu yang harus sudah ditinggalkan karena sudah tidak cocok lagi dengan masalah yang dihadapi dengan tetap bersumber pada nilai-nilai luhur (moral) dari ajaran agama dan nilai kemanusiaan yang terus berkembang dalam budaya dan pandangan hidup bangsa.
7.      Konektivitas
Dalam zaman modern ini, tidak ada satu entitas yang mampu berdiri sendiri. Semuanya terkoneksi antara satu dengan yang lain dalam suatu jaringan kerja. Koneksitas bukan hanya sekedar jaringan kerja computer dan jaringan global, melainkan suatu fenomena di mana suatu entitas dari suatu kemajuan teknologi dapat masuk ke dalam suatu jaringan kerja global. Saat ini, kita sulit mengisolasi diri tetap dalam kehidupan alami tanpa terkontaminasi oleh kehidupan modern yang penuh dengan rekayasa dan barang pengawet.
8.      Konvergensi
Konvergensi muncul bila dua system yang berbeda bergerak menuju satu titik temu atau suatu pola tanpa meleburkan diri ke dalam satu system. Namun, berkat teknologi yang semakin canggih dapat diperoleh model baru yang lebih efektif, produktif, efisien, murah, dan dengan kualitas yang lebih baik. Dalam era informasi global, terjadi konvergensi yang membawa benturan ide, tradisi, system, dan sebagainya. Dari silang pendapat ini kemudian terdapat nilai-nilai baru yang secara universal dapat diterima oleh semua pihak, disamping tetap menyisakan nilai-nilai lama yang berbeda.
Dengan demikian, core konvergensi dalam abad ke-21 adalah lahirnya entitas baru yang merupakan tuntutan global, yang menyebar dengan lebih cepat, murah, tepat/benar, praktis, dapat diterima secara universal, serta memiliki keguanaan berkali lipat, tanpa meleburkan diri ke dalam sistem-sistem yang baru.
9.      Konsolidasi
Di era global, terdapat kecenderungan dari berbagai subsistem yang tadinya independen kemudian mengadakan konsolidasi ke dalam kesatuan unit atau blok yang lebih besar sekaligus dengan strategi baru untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Kebutuhan untuk melakukan konsolidasi tidak terbatas pada bidang bisnis saja, tetapi juga pada semua bidang, termasuk bidang agama.
10.  Rasionalisasi
Semua system dalam era globalisasi cenderung berpikir ulang dan mengevaluasi kembali alat-alat dan strateginya agar lebih efektif, efisien, dan produktif dalam mencapai tujuannya. Sering kali hal itu dilakukan dengan men-setting ulang atau merumuskan kembali tujuan yang ingin dicapai atau meredefinisikan visi, misi, orientasasi, tujuan, strategi, alat, SDM-nya, dan sebagainya; demi tercapainya cita-cita yang dituju.
11.  Paradoks Global
Paradoks global benar-benar telah membudaya dalam tata kehidupan modern di abad ke-21. Paradoks merupakan suatu perumusan atau pernyataan yang absurd, membingungkan karena tampak bertentangan. Sebab, di dalamnya berisi dua entitas yang saling bertentangan satu sama lain, tetapi dikemas dalam satu perumusan atau satu pernyataan. Meski demikian, paradoks tetap dibenarkan, misalnya “ lebih sedikit adalah lebih banyak”. Pernyataan tersebut berasal dari bidang arsitektur yang maksudnya adalah makin sedikit anda mengacaukan suatu gedung dengan hiasan, makin anggun gedung dimaksud.
Paradoks merupakan keniscayaan yang tidak terhindarkan dalam kehidupan. Tetapi, paradoks dalam kehidupan modern terasa lebih menggugah dan mendorong untuk berpikir lebih tajam dan cerdik.
12.  Kekuatan Pikiran
Sejarah mencatat, orang berilmu selalu mendapatkan kedudukan social yang lebih tinggi dan penting. Makin tinggi ilmu yang disandangnya, makin tinggi dan penting kedudukan sosialnya. Sebaliknya, jika makin maju dan modern suatu masyarakat, maka makin memberikan peluang bagi warganya untuk meraih ilmu dan kedudukan yang lebih tinggi. Kekuatan dan kemampuan ilmu dapat lebih cepat dan lebih dahsyat dari pada perkembangan pemikiran penciptanya. Sering kali manusia yang menciptakannya terkejut dan terjeran-heran menyaksikan dampak atau implikasi dan temuannya. Denis Waetley, dalam Jamal Ma’mur Asmani mengatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan.
B.     Tantangan Internal
Selain tantangan eksternal, tantangan internal pendidikan Indonesia adalah kebijakan pemerintah yang masih belum progresif, baik Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
Pertama, Orde Lama (1945-1965). System Pendidikan Nasional diselenggarakan berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1950 dan dengan UU No. 12 Tahun 1945 yang menyatakan berlakunya UU No. 4 Tahun 1950 di seluruh Republik Indonesia, selanjutnya dilengkapi dengan persetujuan parlemen, dan beberapa Kepres yang mengiringinya untuk kebijaksanaan-kebijaksanaan yang levelnya instrumental dan operasional. Misalnya, inpres No. 8 Tahun 1955 tentang pedoman belajar di luar negeri, UU No. 8 Tahun 1990 tentang Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), PP No. 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan dan sebagainya.
Kedua, Orde Baru, dari 1965-1998, System Pendidikan Nasional diselenggarakan berdasarkan UU no. 2 Tahun 1989, dan diikuti dengan perraturan-peraturan pemerintah pelaksanaannya seperti PP No. 27 tahun 1990 tentang pendidikan pra sekolah, dan PP No. 28, 29, dan 60 Tahun 1990 bertutur tentang pendidikan Pendidikan Dasar Menengah, dan Pendidikan Tinggi, dan sebagainya.
Seiring keadaan tersebut, UU No. 2 tahun 1989 yang merupakan produk Orde Baru, juga semakin terasa ketidaksesuaiannya dengan tuntutan global. Dalam pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1989 sangat terasa:
Ø  Setralisasi. Kerja pendidikan diatur secara memusat, dari pusat sampai ke pelosok-pelosok daerah yang sangat terpencil, meliputi kurikulum, metode ajar, tenaga kependidikan, penilaian, ijazah, otoritas penyelenggaraaannya, dana sarana, dan sebagainya.
Ø  Tidak demokratis. Adanya sekolah-sekolah negeri dan swasta yang berbeda secara diskriminatif, meliputi dana, sarana, otoritas, dan pengakuan terhadap ijazahnya. Baik buruknya sekolah swasta diakui dan ditentukan oleh pemerintah, bukan oleh pasar dan pengguna jasa pendidikan, dan sebagainya.
Ø  Penyelenggaraan lembaga-lembaga pendidikan dilaksanakan di bawah otoritas kekuasaan, lengkap dengan otoritas administrasi berakurasi pemerintahan. Padahal, pendidikan adalah kerja akademik dan bukan kerja perkantoran pemerintahan. Tidak berbeda antara menyelenggarakan kantor camat atau kelurahan dengan menyelenggarakan sekolah atau perguruan. Hal ini berlaku untuk semua jenis dan jenjang pendidikan. Misalnya, penyelenggarakan perguruan tinggi (PT).
Ketiga, Orde Reformasi, dari 1997 sehingga sekarang. Bersamaan dengan terbongkarnya kepalsuan rezim Orde Baru, orde Reformasi mengalami keguncangan politik yang amat hebat. Hal itu disebabkan oleh “kran demokrasi” yang dibuka terlalu lebar. Tampaknya pemimpin dan rakyat masih sama-sama belajar berdemokrasi. Barang kali, mereka tidak menyadari bahwa demokrasi tidak identik dengan kebebasan tanpa rambu-rambu. Ingat, demokrasi tidak akan bermakna tanpa tegaknya sistem dan hukum serta tingginya profesionalitas. System Pendidikan Nasional masih diatur berdasarkan UU No. 2 Tahun 1989, yang semua pihak menilainya bahwa UU ini sudah harus diganti dengan yang baru sesuai dengan tantangan global. Maka munculnya UU No 20 Tahun 2003 dengan tujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.
Disinilah fungsi strategis lembaga pendidikan untuk merevitalisasi fungsinya dalam membangkitkan potensi bangsa ke depan, mencetak kader-kader masa depan andal yang dibutuhkan di era kompetisi terbuka, dan mengantisipasi segala tantangan dengan langkah-langkah progresif dan produktif sehingga dihormati bangsa-bangsa lain di dunia.
Potret pendidikan di atas, baik internal maupun eksternal, adalah tantangan serius bagi insan pendidikan untuk mengubahnya menjadi peluang berprestasi. Orang yang sukses adalah yang mampu mengubah tantangan menjadi peluang meraih sukses. Oleh karena itu, semua insan pendidikan seyogianya memandang tantangan pendidikan di atas sebagai starting point melakukan langkah-langkah dinamis dan progresif dalam mengembangkan diri seoptimal mungkin untuk mengejar ketertinggalan dan kemunduran. Jangan berlaku putus asa, patah semangat, dan mundur teratur, sekali kita mundur, maka kondisi pendidikan di negeri ini semakain amburadul dan bangsa ini semakin tertindas.

BAB III
BEBERAPA TANTANGAN MASA DEPAN  PENDIDIKAN

A.    Tantangan yang Berhubungan dengan Sistem Pendidikan.
Kenyataan membuktikan bahwa hingga dewasa ini dalam artian proses kegiatan pembelajaran sebagaian besar orintasinya masih bermuara pada aspek kognitif. Hal ini dipengaruhi oleh faktor umumnya yaitu yang menjadi dasar dalam penentuan kelulusan seorang siswa adalah dapat memperoleh nilai minimal sesuai kriteria kelulusan yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah dalam kenaikan kelas dan atau oleh BSNP dalam kelulusan seorang siswa. Faktor inilah yang memaksa seluruh komponen sekolah terutama guru dalam merekayasa berbagai strategi agar seluruh kriteria kelulusan tersebut dapat dicapai oleh seorang siswa. Dan aspek ini pula yang mendorong guru dalam melaksanakan tugasnya tidak lagi menjadi seorang pendidik yang baik tetapi hanya menjadi seorang pengajar yang baik.
Faktor lain yang menjadi penyebab aspek kognitif sebagai target utama dalam proses pendidikan adalah bahwa kenyataan membuktikan bahwa  yang menjadi ukuran  dari sebuah supervisi baik oleh pihak kepala sekolah, pengawas pendidikan, dinas pendidikan bahkan sampai pada inspektorat di tingkat kementrian pada proses pendidikan di sekolah adalah kesesuaian antara apa yang di rencanakan secara tertulis oleh guru atau kepala sekolah dengan kenyataan yang ada di lapangan. Bagi seorang guru pada saat supervisi materi yang diajarakan di kelas pada saat supervisi harus sesuai dengan apa yang telah di susun dalam silabus, program tahunan, program semester, dan bahkan harus sesuai dengan apa yang di tulis dalam SAP atau RPP. Kasus-kasus seperti inilah yang menyebabkan hingga kini sesungguhnya pendidikan nasional kita tidak bisa memberikan proses kearah tujuan pendidikan nasional.
B.     Tantangan Pendidikan Yang berhubungan dengan Tenaga Kependidikan
Hingga saat ini masih banyak masalah dan kendala yang berkaitan dengan guru sebagai satu kenyataan yang harus diatasi dengan segera. Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah banyak dilakukan antara lain melalui perbaikan sarana, peraturan, kurikulum, dsb. tapi belum mempriotitaskan guru sebagai pelaksana di tingkat instruksional terutama dari aspek kesejahteraannya. Beberapa masalah dan kendala yang berkaitan dengan kondisi guru antara lain sebagai berikut:
a.       Kuantitas, kualitas, dan distribusi.
Dari aspek kuantitas, jumlah guru yang ada masih dirasakan belum cukup untuk menghadapi pertambahan siswa serta tuntutan pembangunan sekarang. Kekurangan guru di berbagai jenis dan jenjang khususnya di sekolah dasar, merupakan masalah besar terutama di daerah pedesaan dan daerah terpencil. Dari aspek kualitas, sebagian besar guru-guru dewasa ini masih belum memiliki pendidikan minimal yang dituntut.
b.      Kesejahteraan.
Dari segi keadilan kesejahteraan guru, masih ada beberapa kesenjangan yang dirasakan sebagai perlakuan diskriminatif para guru. Di antaranya adalah: (1) kesenjangan antara guru dengan PNS lainnya, serta dengan para birokratnya, (2) kesenjangan antara guru dengan dosen, (3) kesenjangan guru menurut jenjang dan jenis pendidikan, misalnya antara guru SD dengan guru SLTP dan Sekolah Menengah, (4) kesenjangan antara guru pegawai negeri yang digaji oleh negara, dengan guru swasta yang digaji oleh pihak swasta, (5) kesenjangan antara guru pegawai tetap dengan guru tidak tetap atau honorer, (6) kesenjangan antara guru yang bertugas di kota-kota dengan guru-guru yang berada di pedesaan atau daerah terpencil, (7) kesenjangan karena beban tugas, yaitu ada guru yang beban mengajarnya ringan tetapi di lain pihak ada yang beban tugasnya banyak (misalnya di sekolah yang kekurangan guru) akan tetapi imbalannya sama saja atau lebih sedikit.
c.       Manajemen guru
Dari sudut pandang manajemen SDM guru, guru masih berada dalam pengelolaan yang lebih bersifat birokratis-administratif yang kurang berlandaskan paradigma pendidikan (antara lain manajemen pemerintahan, kekuasaan, politik, dsb.). Dari aspek unsur dan prosesnya, masih dirasakan terdapat kekurang-terpaduan antara sistem pendidikan, rekrutmen, pengangkatan, penempatan, supervisi, dan pembinaan guru. Masih dirasakan belum terdapat keseimbangan dan kesinambungan antara kebutuhan dan pengadaan guru. Rerkrutmen dan pengangkatan guru masih selalu diliputi berbagai masalah dan kendala terutama dilihat dari aspek kebutuhan kuantitas, kualitas, dan distribusi. Pembinaan dan supervisi dalam jabatan guru belum mendukung terwujudnya pengembangan pribadi dan profesi guru secara proporsional. Mobilitas mutasi guru baik vertikal maupun horisontal masih terbentur pada berbagai peraturan yang terlalu birokratis dan “arogansi dan egoisme” sektoral. Pelaksanaan otonomi daerah yang “kebablasan” cenderung membuat manajemen guru menjadi makin semrawut.
d.      Penghargaan terhadap guru
Seperti telah dikemukakan di atas, hingga saat ini guru belum memperoleh penghargaan yang memadai. Selama ini pemerintah telah berupaya memberikan penghargaan kepada guru dalam bentuk pemilihan guru teladan, lomba kreatiivitas guru, guru berprestasi, dsb. meskipun belum memberikan motivasi bagi para guru. Sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” lebih banyak dipersepsi sebagai pelecehan ketimbang penghargaan. Pemberian penghargaan terhadap guru harus bersifat adil, terbuka, non-diskriminatif, dan demokratis dengan melibatkan semua unsur yang terkait dengan pendidikan terutama para pengguna jasa guru itu sendiri, sementara pemerintah lebih banyak berperan sebagai fasilitator.

e.       Pendidikan guru
Sistem pendidikan guru baik pra-jabatan maupun dalam jabatan masih belum memberikan jaminan dihasilkannya guru yang berkewenangan dan bermutu disamping belum terkait dengan sistem lainnya. Pola pendidikan guru hingga saat ini masih terlalu menekankan pada sisi akademik dan kurang memperhatikan pengembangan kepribadian disamping kurangnya keterkaitan dengan tuntutan perkembangan lingkungan. Pendidikan guru yang ada sekarang ini masih bertopang pada paradigma guru sebagai penyampai pengetahuan sehingga diasumsikan bahwa guru yang baik adalah yang menguasai pengetahuan dan cakap menyampaikannya
f.        Karir tak berjenjang
Banyak profesi bergengsi seperti di bidang hukum, kedokteran, sains, rekayasa, dsb. menetapkan secara jelas transisi dari sejak mahasiswa lulus ke jabatan profesional. Untuk dapat melaksanakan tugas profesionalnya dilakukan secara berjenjang melalui seleksi yang cukup ketat dengan kriteria yang jelas. Ketika memulai bertugas pada tahap awal dimulai dengan magang kepada yang lebih seniror dan terus secara berhjenjang sampai pada posisin tertinggi. Dalam jabatan guru hal itu tidak terjadi secara jelas dan terprogram. Begitu lulus dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan langsung terjun ke dunianya laksana anak itik yang langsung berenang. Dan seterusnya sejak mulai sampai akhir masa jabatan tidak pernah terjadi seleksi karir yang berjenjang. Dengan begitu guru pemula sama saja dengan guru yang sudah puluhan tahun bekerja, yang membedakannya hanyalah gaji yang diterima dan pangkat yang semakin tinggi.
Memang ada ketentuan penjenjangan jabatan guru mulai dari guru pratama sampai ke guru utama dengan kriteria perolehan angka kredit. Namun dalam pelaksanaannya lebih banyak berupa ketentuan administratif ketimbang penjenjangan profesional. Di Perguruan Tinggi para dosen cukup jelas ketentuan aturan penjenjangan dan pelaksanaannya. Misalnya seorang asisten ahli tidak diberi wewenang untuk mengajar secara mandiri dan membimbing skripsi.




BAB VI
P E N U T U P

Bahwa sekolah merupakan suatu sistem yang di dalamnya memiliki komponen-komponen yang saling terkait dan sangat  kompleks serta  mncakup unsur  input-proses-output dan juga memiliki akuntabilitas terhadap konteks pendidikan dan outcom pendidikan. Oleh karena itu seorang manajemen pendidikan harus berlaku sebagai agent of change yang selalu berupaya untuk menciptakan difusi inovasi bagi seluruh unsur imput agar mendorong proses dalam sistem sekolah sehingga proses dapat berjalan secara baik untuk mencapai output dan outcome pendidikan yang berkualitas yang memiliki derjata kesehatan, keamanan, disiplin, keakraban, saling menghormati, dan kepuasan pada setiap unsur imput dalam memberi dan menerima jasa layanan.
Dalam konsep manajemen pendidikan  maka kepala sekolah memiliki peran yang cukup penting untuk menciptakan suasana sekolah yang lebih kondusif, sehat dan dinamis sehingga  tercipta difusi inovasi bagi seluruh unsur imput. Kepala sekolah harus menjadi agen perubahan bagi sebuah dinamika yang lebih kondusif dalam menata serta memberdayakan manusianya, uang, maetrials, methods dan machines sebagai unsur imput secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan sekolah itu sendiri.
Sekolah yang baik adalah sekolah yang mampu menghasilkan kelulusan yang bukan hanya memiliki nalar yang tinggi dengan memperoleh nilai kelulusan yang didapat melalui ujian-ujian akhir atau mampu memasuki suatu tingkat sekolah yang lebih tinggi dengan standar sekolah lebih baik di setiap daerah. Akan tetapi sekolah yang baik adalah sekolah yang mampu menjadikan siswanya sebagai investasi dalam pertumbuhan kekuatan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks ini ukuran sekolah yang baik dapat dilihat dari bagaiman sekolah itu mampu menempatkan seluruh komponen sekolahnya dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga masyarakatpun merasa nyaman dengan keberadaan sebuah sekolah tersebut.
Pada akhirnya sebuah proses yang baik dalam mengelola sistem sekolah yang lebih efektif, produktif, efisien dan inovatif akan  mendorong munculnya sebauh konsep pengelolaan sekolah yang lebih sehat dan dinamis. Dengan demikian maka seluruh aspek Yang terlibat dalam proses sistem sekolah akan bekerja secara ikhlas, jujur dan penuh dengan pengabdian mengharapkan Ridho Allah SWT. maka kemiskinan, kebodohan dan keterbelakang, lingkaran setan dapat kita putuskan. Dan tentu akan dapat melahirkan sebuah model sekolah yang murah dan dapat dinikmati seluruh anak-anak bangsa yang memiliki ketidak mampuan dalam menikmati sekolah berfasilitas lengkap dan biaya mahal. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk semua phak terutama bagi penulis sendiri dalam mengembangkan model sekolah seperti yang dimaksudkan diatas yaitu sekolah murah dan efektif  serta dapat dijangkau oleh peserta didik yang tidak mampu.



DAFTAR  KEPUSTAKAAN
Asmani, Ma’mur Jamal, Manajemen pengelola Kepemimpinan Pendidikan Profesional, DIVA Pres, Yogyakarta, Cet. I, Juni 2009.

Danim, Sudarwan, Prof. Dr, Visi Baru Manajemen Sekolah Dari unit Birokrasi ke lembaga akademik, Bumi Aksara, Jakarta, Cet. 3, Juli  2008.

Hamdan, H, Drs. M.Pd.I, Paradigma Baru Pendidikan Muhammadiyah, Ar-Ruzzmedia, Jakarta, Cet. I, Januari 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar